Selasa, 17 Desember 2013

Dear Karibku,

Dear karibku...

Sungguh... aku turut berbahagia mendengar kabar darimu. Aku hanya merasa tak perlu memperlihatkannya saja. Untuk apa? Bukankah yang kasat mata biasanya hanya pura-pura?

Aku tahu inilah yang kamu impikan sejak lama. Setidaknya sejak kamu mengenal dia. Dan kini perjalananmu akan memasuki babak baru, bukan? Bagaimana perasaanmu saat ini? Tentu sangat bahagia, mungkin tak terlukiskan dengan kata-kata. Aku tahu itu. Aku juga tahu betapa inginnya kamu membaginya denganku. Tapi aku sengaja menghindar. Entahlah... aku merasa lebih berarti ketika aku menjadi sandaranmu saat kamu menangis. Bukan aku tak bahagia melihatmu berbahagia, tapi... bukankah saat kamu bahagia sudah terlampau banyak orang di sekelilingmu? Aku tahu aku punya tempat tersendiri, tapi... aku lebih memilih untuk menjauh pergi.

Jika mungkin kamu bertanya, apa aku sedih? Apa aku merasa kehilanganmu? Jawabanku, Tidak. Sama sekali tidak. Aku tidak merasa kehilanganmu saat ini. Yah... karena aku telah lama kehilanganmu. Sejak beberapa tahun lalu. Semenjak kamu mengenal dia. Tanpa kamu sadari, aku sudah terbiasa sendiri.

Tapi aku sadar, toh pada akhirnya nanti kitapun akan menjalani semuanya sendiri. Tak mungkin bersama selamanya. Jadi sekarang atau nanti, buatku sama saja.

Jadi... selamat berbahagia untukmu. Semua doa terbaik selalu kupanjatkan untukmu. Aku tahu, setelah ini semuanya tak lagi sama. Kamu akan punya bahu yang lebih lebar untuk jadi sandaran lelahmu, tangan yang lebih lembut untuk mengusap air matamu, pelukan yang lebih hangat dan menentramkanmu... tapi kamu tetap karibku pada rentang sejarah waktu... :')

Sabtu, 14 Desember 2013

Ulang Tahun Sang Mahaguru

Sejak dua minggu yang lalu kami, para mahasiswa pascasarjana UGM jurusan Ilmu Linguistik, sudah diwanti-wanti untuk mempersiapkan diri menghadiri seminar internasional dalam rangka merayakan ulang tahun salah satu mahaguru kebanggaan kami Prof. Soepomo Poedjosoedarmo yang ke-80.

Seminar hari pertama, 5 Desember 2013 dibuka oleh acara seremonial seperti sambutan ketua panitia Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana, S.U., M.A. atau sering dipanggil Pak Putu (aja). Selain itu ada juga sambutan dari Dekan Fakultas Ilmu Budaya UGM, Dr. Pujo Semedi Hargo Yuwono, M.A. Setelah gong dipukul, maka dimulai lah acara seminar ini. Seminar sesi pertama diisi oleh 2 pemakalah super keren. Pemakalah pertama, Prof. Stephanus Djawanai, Ph.D yang mempresentasikan makalah yang berjudul Bahasa Hominisasi dan Simbolisasi. Pemakalah kedua yang gak kalah keren adalah Dr. Timothy McKinnon yang mempresentasikan makalah dengan judul Malay Morphology: How strange does it get?. Mas Tim ini udah bule, masih muda, bahasa Indonesianya lancaaarrr banget. Aduh mas, kesemsem aku sama kamuuu... >.< #salahfokus

Setelah coffee break selama seperempat jam, seminar dilanjutkan lagi. Sesi kedua ini ada enam pemakalah yang tampil. Ada yang mengagumkan karena nama besarnya, ada yang biasa aja dan terkesan “kebanting” sama pemakalah sebelumnya. Satu yang menarik perhatian saya, pemakalah Truly Almendo Pasaribu yang mempresentasikan A Cognitive Linguistics Analysis of Indonesian Love Metaphors. Yaa... semua yang berhubungan dengan cinta pasti jadi menarik bukan? Hehe. Diselingi Ishoma selama 45 menit, seminar lanjut lagi. Kali ini ada enam pemakalah lagi yang tampil. Tapi saya lost focus selama sesi ini. Mungkin karena kekenyangan jadi ngantuk, mungkin karena topiknya gak ada yang menarik perhatian saya, mungkin karena pemakalahnya gak pandai mencuri perhatian audiens... entahlah. Lanjut coffee break lagi selama seperempat jam dan Seminar sesi keempat, sesi terakhir untuk hari ini. Ada enam lagi pemakalah yang tampil. Ada dua yang menarik perhatian saya. Yang pertama, Ibu Siti Jamzaroh dengan makalahnya yang berjudul Mengungkap Tabir Nama Diri Masyarakat Banjar. Kenapa menarik bagi saya? Karena agak nyerempet2 sama topik skripsi saya dulu tentang nama diri. Tapi yaa... saya agak kecewa sih sama presentasinya. Sepertinya materi kurang dipersiapkan dengan matang. Pemakalah kedua yang menarik perhatian saya yaitu Yunus Sulistyono yang mempresentasikan Perbandingan Genetis dan Tipologis Bahasa Bunak Timor dan Abui. Kenapa menarik bagi saya? Karena dia teman sekelas saya di kuliah... *ya iyalaaaahhh* Akhirnya seminar hari pertama ditutup dengan makan nasi goreng babat samping Bank Mandiri (kalo ini sih acara pribadi saya sama larit :p)

Seminar sesi pertama hari kedua dibuka dengan lima pemakalah. Entah kenapa gak ada satupun yang menarik perhatian saya. Sekitar jam 10 pagi, kami coffee break selama lima belas menit. Acara selanjutnya adalah perayaan ulang tahun Prof. Pomo. Kami berdoa dan menyanyi bersama. Saya sempat menitikkan air mata ketika salah satu murid beliau menyanyikan sebait lirik yang dia ciptakan sendiri spesial untuk Prof. Pomo. Kami yang berada di ruangan tersebut terharu sekali. Kemudian pemotongan tumpeng. Potongan tumpeng yang pertama diberikan kepada peserta seminar yang termuda. Ternyata dia adalah teman sekelas saya di jurusan Ilmu Linguistik angkatan 2013 dan sama-sama berasal dari Purworejo. Namanya Sahara Ramadhani, usianya baru 21 tahun. Setelah itu, bapak Tri Mastoyo menyerahkan kado berupa wayang Begawan Abiyasa yang dibingkai cantik. Mengapa Begawan Abiyasa? Konon katanya Begawan Abiyasa adalah guru para Pandawa. Saat Pandawa sedih ataupun senang, biasanya datang ke Begawan Abiyasa. Begitu pula sosok Prof. Soepomo Pudjosoedarmo yang merupakan “tempat berlabuh” dari para juniornya. Setelah perayaan ulang tahun yang mengharu biru ini, kami dipersilakan istirahan selama hampir 2 jam. Ini juga memberikan kesempatan pada kaum laki-laki untuk menunaikan ibadah Shalat Jumat.

Acara dimulai lagi pukul 1 siang dengan menghadirkan enam pemakalah lagi. Mungkin karena kekenyangan, sayapun merasa mengantuk sekali. Apalagi ruangan terlihat sepi karena banyak kursi yang tidak terisi. Entah “kabur” kemana para peserta seminar. Pukul 14.30 kami coffee break (lagi!). Selanjutnya, seminar sesi terakhir dibawakan oleh dua pemakalah dahsyat, Prof. Dr. Bahren Umar Siregar yang membawakan makalah berjudul Metafora Bahasa Indonesia sebagai Penghela Ilmu Pengetahuan dan Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana, S.U., M.A. yang membawakan makalah berjudul Gadjah Mada Bercanda, Humor Dosen UGM: Sebuah Kajian Sosiopragmatik. Menurut saya ini “gong” nya dari seminar hari kedua ini. Anehnya, kursi-kursi penuh terisi seperti ketika pembukaan seminar. Acara seminar ini ditutup sekitar pukul lima sore. Kami puas-puasin foto-foto. Sayangnya foto saya bersama teman sekelas agak nge-blur. Tapi gak papa, kenangan yang paling indah bukan tercetak pada selembar gambar. Melainkan di sini, di hati dan memori kita.

Happy Birthday, Prof! Semua doa terbaik telah terpanjatkan untukmu. Semoga Allah SWT berkenan mengabulkannya, aamiin... ^___^
narsis saat coffee break

perayaan ulang tahun


apa ya yang dibicarakan Prof. Pomo dan Prof. Stephanus Djawanai?

Saya dan Larit, mumpung ketemu... :)

Rabu, 20 November 2013

Ketika Merapi "Batuk"

Pagi itu cuaca di Purworejo cerah. Maklum, hujan deras mengguyur hampir semalam penuh. Setelah mandi dan bersiap berangkat ke Jogja, saya iseng-iseng menyetel tv. Setengah terhenyak saya melihat headline berita di salah satu stasiun tv, “Merapi Meletus”. Mak dheg. Si penyiar nampak sedang melakukan telewicara dengan salah satu nara sumber di lokasi kejadian. Saya baca dengan cermat lokasinya. Cangkringan. Iyaa.. bener... Gunung Merapi. Semula saya pikir mungkin Gunung Marapi yang ada di Sumbar. Langsung saya konfirmasi ke beberapa teman yang ada di Jogja. Iya benar merapi ‘batuk’. Tapi tidak separah tahun 2010 dan suasana saat ini sudah kondusif. Alhamdulillah.

Seketika ingatan saya melayang pada bulan Oktober-November tiga tahun lalu... Erupsi Merapi. Banyak momen yang tak terlupakan saat itu. Tapi ada yang paling membekas dalam ingatan saya, tanggal 5 November 2010.

Tengah malam itu saya dikejutkan dengan ketukan bertubi-tubi di pintu kamar kost. Saya keluar kamar, dan keadaan terlihat sangat kacau. Beberapa teman kost menangis sesenggukan sambil berpelukan. Terdengar pula suara tak tok pletak pletok dari atas atap kamar kost. Dengan polos dan setengah mengantuk saya bertanya, “ada apa?”. Huh, pertanyaan bodoh. “Hujan pasir dan kerikil, Des. Merapi meletus!” seru salah seorang teman kost dengan wajah panik. Saya juga panik sih, tapi juga gak tahu harus berbuat apa. Suasana kost bertambah kacau ketika ada salah seorang teman yang malam itu juga, pulang ke rumahnya di Bantul. Dia bilang mau mengungsi  karena kondisi daerah sekitar kost sudah kacau. Ditambah lagi katanya batas zona aman Merapi sudah mencapai radius 20 km. Saya dan teman-teman yang lain kemudian menghabiskan waktu dengan menonton tv di salah satu kamar dan memantau keadaan merapi sampai pagi.

Menjelang siang, saya dan beberapa teman sempat ‘jalan-jalan’ memantau keadaan sekitar. Jalanan berdebu, suara ambulans wira-wiri menambah miris dan dramatis suasana saat itu. Tiba-tiba Ibu menelepon dan meminta saya untuk pulang ke rumah di Purworejo saat itu juga. Bagaimanapun keadaannya, akan lebih baik jika berkumpul bersama keluarga. Maka hari itu saya berkemas dan langsung pulang ke rumah. Melewati perempatan Kentungan jalan Kaliurang ring road utara, saya melihat beberapa reporter dari berbagai stasiun tv sedang melaporkan berita terbaru seputar keadaan pasca letusan Merapi. Perjalanan kali ini, benar-benar perjalanan yang luar biasa. Saya memacu motor saya hanya 60km/jam. Menikmati ‘pemandangan’. Sesekali bahkan lebih lambat dari itu, jika kondisi jalan sangat licin akibat abu merapi yang terkena hujan gerimis. Jarak pandang juga sangat terbatas karena abu yang tertiup angin. Perjalanan Jogja-Purworejo yang biasanya hanya sekitar 90 menit, kali itu saya tempuh hampir 4 jam!

Memasuki kecamatan Bagelen, tempat tinggal saya yang berbatasan dengan provinsi DIY, saya ‘terkagum-kagum’ dengan ‘pemandangan’ di sekitar saya. Astaghfirullah... rasanya seperti mimpi melihat itu semua. Pohon-pohon pisang tumbang, rumpun-rumpun bambu rebah menutupi jalan, jalanan.. atap.. rumah.. dedaunan... semua berselimut abu. Kendaraan semakin sulit berjalan karena licinnya jalanan. Abu merapi setinggi hampir 5cm menutupi jalanan. Ditambah lagi, rintik gerimis yang datang sesekali membuat abu itu menjadi licin. Mungkin kalau hujan deras sekalian malah bisa sedikit membersihkan abu yang ada di jalanan.

Ada yang lebih membuat saya mengelus dada, listrik di daerah saya padam karena kabarnya ada kerusakan jaringan. Total pemadaman listrik selama 35 jam! Bayangkan bagaimana bisa kami hidup tanpa listrik selama waktu itu. Yaa... hitung-hitung prihatin, merasakan saudara-saudara kita di pelosok negeri yang belum mencicipi nikmatnya hidup dengan listrik menyala.

Syukurlah kali ini Merapi hanya ‘batuk’, tidak seperti erupsi tahun 2010 lalu. Kabarnya abu Merapi kali ini mengarah ke timur dan utara sesuai hembusan angin.


   

Selasa, 29 Oktober 2013

Kekuatan Memaafkan

Minggu lalu ketika saya sedang dipusingkan oleh tugas kuliah yang menumpuk dan paper UTS yang menggila, iseng-iseng saya menyetel radio di handphone dan memilih channel favorit saya, 101.7 Swaragama FM. Dan kok yo paaasss banget tema caranya #RabuGalau. Si penyiar mengangkat topik tentang Kekuatan Memaafkan. Aduh... ini topik makjleb banget buat saya. Seperti menjawab kegelisahan saya beberapa waktu belakangan ini.

Jujur saja, saya bukan tipe orang yang mudah memaafkan. Apalagi jika yang menyakiti saya adalah orang-orang terdekat yang selama ini begitu saya percaya. Sekalipun hanya masalah sepele, tapi saya bisa marah dan mendiamkan orang itu selama berbulan-bulan. Sampai akhirnya saya lelah dengan rasa marah saya sendiri. Misalnya waktu saya merasa dikhianati oleh salah satu teman dekat saya ketika mengurus kelompok KKN tahun 2010 lalu. Kami yang sama-sama memperjuangkan kelompok itu dari awal agar bisa berangkat ke Flores, NTT, pada akhirnya teman saya malah memilih untuk menerima tawaran bergabung dengan kelompok lain yang berangkat ke daerah yang sama. Sementara saya? Akhirnya hanya memasrahkan nasib penempatan KKN oleh LPPM. Sejak saat itu, selama setahun lebih saya marah, merasa dikhianati, dan mendiamkan teman saya itu. Yaa kami memang beda jurusan dan gak terlalu sering berinteraksi. Tapi setiap ada kesempatan gak sengaja bertemu dengannya di perpustakaan, di kantin kampus, atau di kost teman, saya bisa benar-benar menganggapnya tidak ada. Kalau ingat masa-masa itu saya merasa kejaaamm banget. Tuhan aja bisa memaafkan, masa  saya yang hanya manusia biasa gak mau memaafkan. Tapi yaa namanya juga lagi marah dan sakit hati. Jadi saya merasa sah-sah saja. Begitu juga yang terjadi ketika saya ada masalah dengan salah satu sahabat saya. Berbulan-bulan saya mendiamkannya sampai dia bingung harus bagaimana dan saya lelah dengan amarah saya.

Nah... kebetulan beberapa waktu belakangan ini saya juga sedang merasa disakiti oleh seseorang. Sebut saja dia, mantan #eh. Emang sih udah mantan, dan kami juga sudah sama-sama memiliki pasangan. Tapi kok rasanya ada yang mengganjal ya. Saya merasa ada sesuatu yang belum terselesaikan antara saya dan dia. Tapi saya juga gak mungkin menghubungi dia karena menjaga komitmen dengan pasangan saya yang sekarang. Tapi memaafkan dia begitu saja kayaknya belum ikhlas. Susaaahhh banget rasanya. Padahal nih ya, yang saya dengar dari radio, memaafkan itu bisa dimulai dengan langkah-langkah:
  1. Ubah mindset bahwa memaafkan itu menguntungkan orang lain. Lakukanlah untuk diri sendiri.
  2. Yakinkan diri sendiri bahwa memaafkan akan meninggikan derajat kita
  3. Posisikan diri kita menjadi orang lain. Bagaimana seandainya kita berada di posisi orang yang melakukan kesalahan? Dengan begitu kita akan lebih bisa memahami.
  4. Jika memungkinkan, ungkapkan isi hati yang mengganjal
  5. Lupakan siapa yang salah dan siapa yang benar 
  6. Berdamailah dengan perasaan kita sendiri, dengan sisi egois kita, dan dengan masa lalu
Juedeeerrr... point yang ke-6 itu mak jleb sekali yaaahh... Saya merasa ditampar. Berdamai dengan perasaan sendiri, berdamai dengan sisi egois kita, dan berdamai dengan masa lalu, sepertinya memang itu kuncinya. Terkadang, ada hal-hal yang memang semestinya dibiarkan menggantung, mengambang, tak terselesaikan. Biarkan waktu yang menyembuhkan semuanya.

Hai seseorang di masa lalu, aku memaafkanmu, maafkan juga semua salah dan khilafku. Selamat berbahagia dengan pendampingmu.

Jumat, 03 Mei 2013

Curhat Kaos Couple



Akhir-akhir ini saya jadi lebih pendiam ya? Terbukti dengan jumlah curcol-an di blog ini udah lama gak nambah2. Bukannya ga mau barbagi curahan hati sih, tapi ada banyak sekali hal yang mesti diselesaikan, sebanyak cerita yang sebenarnya ingin saya sampaikan.

Dua bulan yang lalu saya jalan-jalan ke kota Malang. Sendirian sih. Di Malang saya tinggal di rumah kakak sepupu saya. Hampir dua minggu saya di sana. Sempat reunian juga sama teman kuliah yang kebetulan sama-sama sedang berada di kota Malang. Kami  mengobrol santai sambil makan es krim di Toko Oen Malang. Saat itu, mata saya tertuju pada sepasang kekasih (atau pasutri ya?) yang lagi makan es krim juga tapi mesraaaa bangeeettt. Ngiri? Ya iyalah! Saya sampe mikir, seharusnya ada Undang-Undang yang melarang orang bermesraan di tempat umum karena memicu para jomblo (seperti saya) pengen gantung diri! *lebay*

Si perempuan mukanya putih mulus imut-imut, pake softlens jadi kayak boneka. Sementara si cowok (menurut kami) tampangnya biasa aja. Jadilah kami namai mereka... “mbak berwajah boneka” dan “mas tampang biasa aja”. Mereka pake couple t-shirt loh. So sweet banget gak sih. Huhuhu. Sampai pulangpun saya dan teman saya masih membahas tentang ke- so sweet-an mereka.

Ajaibnya, esok harinya ketika saya dan keluarga mbak sepupu main ke Batu Secret Zoo (Jatim Park 2), saya ketemu lagi sama “mbak berwajah boneka” dan “mas tampang biasa aja” sama-sama lagi makan di Food Court. Dan tetep yaaa... kaos couple plus suap-suapan. Saya sampe histeris sendiri dan langsung sms temen saya, bilang kalo saya ketemu pasangan itu lagi! Hahaha...

Dan ajaibnya (lagi), ketika hari berikutnya giliran teman saya yang main ke tempat yang sama (Jatim Park 2) dia mengirim sms ke saya yang mengabarkan kalo dia juga bertemu lagi sama pasangan itu. Aneh... ngapain ya pasangan itu dua hari berturut-turut main ke tempat yang sama??? Gak habis pikir sih.

Kisah tentang kaos couple ternyata belum selesai sampai disitu. Ketika saya pulang ke Purworejo, saya naik bus Rosalia Indah dari terminal Arjosari Malang. Kebetulan saya datang lebih dulu, dan belum tahu siapa yang akan duduk di sebelah saya. Menjelang bus berangkat, datanglah seseorang dan berhenti sejenak sambil memandang saya. Tebak siapa? Bukaaannn... bukan pasangan so sweet itu. Ini bukan sinetron kok. Sebenernya bukan siapa-siapa sih. Saya juga gak kenal. Hehehe... tapi ada sesuatu yang bikin saya balik memandangnya. Ya alloh... itu baju yang dia pake kenapa mirip yang saya pake? Celana jins biru dongker dan jaket warna senada plus t-shirt warna biru tosca. Ajaibnya, dia duduk di samping saya. Kalo orang yang gak tahu pasti dikira saya sama dia memang saling mengenal dan janjian pake baju kembaran. Ini sekadar kebetulan atau... takdir Tuhan ya??? *uhuk...
Gak gitu juga sih. Tapi kan everything’s happens for a reason, right??? Maksudnya... jangan-jangan...

Tapi ya sudahlah, sampai mas itu turun di daerah Solo, kami tetap saling berdiam diri. Ahahahaha... lupakan.

Jadi ya gitu deh beberapa cerita yang sempat tertunda saya terbitkan di blog ini. Cerita lainnya? Masih buanyaaakkk. Coming soon ya. ^____^

Jumat, 11 Januari 2013

Pulang Kampung


"aku pulang kampung teman2. Sampai jumpa lagi.. Makasih buat selama ini n maaf kalo ada salah..."
Berawal dari sebuah pesan singkat yang mampir ke HP saya sore ini, seorang teman semasa kuliah mengucap salam perpisahan. Pulang kampung... mungkin bukan kata yang tepat untuk menggambarkan situasi ini. Biasanya kata pulang kampung dipakai oleh orang-orang yang merantau ke kota lain untuk bersekolah dan atau bekerja, yang sifatnya sementara. Karena pada waktu yang ditentukan, orang-orang tersebut akan kembali ke kota perantauan untuk melakukan aktifitas seperti biasa. Tapi pulang kampung versi teman saya itu, adalah pulang ke rumah setelah menunaikan kewajiban kuliah. Setelah lulus kuliah, beberapa teman seperjuangan (termasuk saya) memang memutuskan untuk pulang ke kampung, pulang ke rumah, pulang ke keluarga. Mau tau gimana rasanya pulang kampung versi itu? Campur aduk. Kalo saya sih, 10% ngerasa sedih, yang 89% ngerasa sediiiiihhhh bangeeeetttt... gak ada perasaan senangnya blas. Apalagi saya pulang dengan tidak baik-baik... *uopoh

Maksudnya sebenernya saya masih pengen banget tinggal di Jogja, tapi situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan. Akhirnya pulanglah saya ke pangkuan orang tua, mengabdi pada keluarga. Makanya moment itu bener-bener menyedihkan dan gak pengen saya inget-inget lagi.

Kalo ditanya kenapa sedih ninggalin Jogja, bingung juga sih jawabnya. Kalo jawabannya karena banyak kenangan selama empat tahun lebih tinggal di sana, kesannya kok klise banget ya. Lagian saya juga bukan tipe  orang yang seneng blusukan ke tempat-tempat wisata n nyoba kuliner macem2. Selama kuliah di Jogja, tiap weekend saya pasti pulang ke rumah. Bahkan nih ya, ada satu hal ‘ajaib’ yang sanggup bikin beberapa temen saya geleng kepala keheranan. Jadi selama empat tahun sekian bulan kuliah di Jogja, saya BELUM PERNAH SEKALIPUN DATENG KE SUNMOR!!! Kaget kan?! Kaget kan?! Ya gitu deh... abisnya setiap weekend pasti pulang ke rumah. Kalaupun hari minggu pas lagi di kost, pasti ada acara jadi gak bisa maen ke sunmor juga. Jadi kenapa ya saya sedih banget ninggalin Jogja? Hmm... mungkin karena saya kehilangan ‘zona nyaman’ yang selama  beberapa tahun terakhir ini berhasil jadi tempat pelarian ketika saya ada masalah di rumah. Namun pada akhirnya saya juga harus menyadari bahwa masalah itu harus dihadapi dengan berani, bukan dihindari.

Well... sekarang saya juga sudah pulang kampung, tinggal di kampung. Kampung dalam arti sebenarnya karena disini gak ada toko buku diskon langganan saya, gak ada bioskop, gak ada tempat karaoke kayak Happ*p, gak ada mall, gak ada ayam penyet kayak yang deket SaDhar, gak ada nasi goreng babat kayak yang deket Bank Mandiri, gak ada pempek seenak Ny. Kamto, gak ada yang jual Mister Burger... *kenapa jadi ngomongin makanan??? -___-"

Ya intinya sekarang saya tinggal di kampung saya tercinta, Purworejo Berirama yang katanya BERsih, Indah, Rapi, Aman, MAkmur. Walaupun kampung, yang penting BERIRAMA deh.... :P

Jadi buat temans seperjuangan yang sekarang ada di kampungnya masing-masing, tetap semangat ya. Rezeki dan jodoh itu sudah diatur oleh Allah SWT, gak akan terhalang dan tertukar meskipun kalian tinggal di kampung. Otre??? *ini sebenernya saya menyemangati diri sendiri*