Pagi
itu cuaca di Purworejo cerah. Maklum, hujan deras mengguyur hampir semalam
penuh. Setelah mandi dan bersiap berangkat ke Jogja, saya iseng-iseng menyetel
tv. Setengah terhenyak saya melihat headline berita di salah satu stasiun tv,
“Merapi Meletus”. Mak dheg. Si
penyiar nampak sedang melakukan telewicara dengan salah satu nara sumber di
lokasi kejadian. Saya baca dengan cermat lokasinya. Cangkringan. Iyaa..
bener... Gunung Merapi. Semula saya pikir mungkin Gunung Marapi yang ada di
Sumbar. Langsung saya konfirmasi ke beberapa teman yang ada di Jogja. Iya benar
merapi ‘batuk’. Tapi tidak separah tahun 2010 dan suasana saat ini sudah
kondusif. Alhamdulillah.
Seketika
ingatan saya melayang pada bulan Oktober-November tiga tahun lalu... Erupsi
Merapi. Banyak
momen yang tak terlupakan saat itu. Tapi ada yang paling membekas dalam ingatan
saya, tanggal 5 November 2010.
Tengah
malam itu saya dikejutkan dengan ketukan bertubi-tubi di pintu kamar kost. Saya
keluar kamar, dan keadaan terlihat sangat kacau. Beberapa teman kost menangis
sesenggukan sambil berpelukan. Terdengar pula suara tak tok pletak pletok dari atas atap kamar kost. Dengan polos dan
setengah mengantuk saya bertanya, “ada apa?”. Huh, pertanyaan bodoh. “Hujan
pasir dan kerikil, Des. Merapi meletus!” seru salah seorang teman kost dengan
wajah panik. Saya juga panik sih, tapi juga gak tahu harus berbuat apa. Suasana
kost bertambah kacau ketika ada salah seorang teman yang malam itu juga, pulang
ke rumahnya di Bantul. Dia bilang mau mengungsi
karena kondisi daerah sekitar kost sudah kacau. Ditambah lagi katanya
batas zona aman Merapi sudah mencapai radius 20 km. Saya dan teman-teman yang
lain kemudian menghabiskan waktu dengan menonton tv di salah satu kamar dan
memantau keadaan merapi sampai pagi.
Menjelang
siang, saya dan beberapa teman sempat ‘jalan-jalan’ memantau keadaan sekitar.
Jalanan berdebu, suara ambulans wira-wiri menambah miris dan dramatis suasana
saat itu. Tiba-tiba Ibu menelepon dan meminta saya untuk pulang ke rumah di
Purworejo saat itu juga. Bagaimanapun keadaannya, akan lebih baik jika
berkumpul bersama keluarga. Maka hari itu saya berkemas dan langsung pulang ke
rumah. Melewati perempatan Kentungan jalan Kaliurang ring road utara, saya
melihat beberapa reporter dari berbagai stasiun tv sedang melaporkan berita
terbaru seputar keadaan pasca letusan Merapi. Perjalanan kali ini, benar-benar
perjalanan yang luar biasa. Saya memacu motor saya hanya 60km/jam. Menikmati
‘pemandangan’. Sesekali bahkan lebih lambat dari itu, jika kondisi jalan sangat
licin akibat abu merapi yang terkena hujan gerimis. Jarak pandang juga sangat terbatas
karena abu yang tertiup angin. Perjalanan Jogja-Purworejo yang biasanya hanya
sekitar 90 menit, kali itu saya tempuh hampir 4 jam!
Memasuki
kecamatan Bagelen, tempat tinggal saya yang berbatasan dengan provinsi DIY,
saya ‘terkagum-kagum’ dengan ‘pemandangan’ di sekitar saya. Astaghfirullah...
rasanya seperti mimpi melihat itu semua. Pohon-pohon pisang tumbang,
rumpun-rumpun bambu rebah menutupi jalan, jalanan.. atap.. rumah.. dedaunan...
semua berselimut abu. Kendaraan semakin sulit berjalan karena licinnya jalanan.
Abu merapi setinggi hampir 5cm menutupi jalanan. Ditambah lagi, rintik gerimis
yang datang sesekali membuat abu itu menjadi licin. Mungkin kalau hujan deras
sekalian malah bisa sedikit membersihkan abu yang ada di jalanan.
Ada
yang lebih membuat saya mengelus dada, listrik di daerah saya padam karena
kabarnya ada kerusakan jaringan. Total pemadaman listrik selama 35 jam! Bayangkan
bagaimana bisa kami hidup tanpa listrik selama waktu itu. Yaa... hitung-hitung prihatin, merasakan saudara-saudara kita
di pelosok negeri yang belum mencicipi nikmatnya hidup dengan listrik menyala.
Syukurlah
kali ini Merapi hanya ‘batuk’, tidak seperti erupsi tahun 2010 lalu. Kabarnya abu
Merapi kali ini mengarah ke timur dan utara sesuai hembusan angin.