Sabtu, 29 Desember 2012

29.12.2012


Dari tiga ratus enam puluh lima hari dalam waktu satu tahun, ada satu hari spesial yang selalu saya nantikan kedatangannya. Hari spesial itu, adalah hari ke dua puluh sembilan di bulan Desember, hari yang lazim disebut Hari Ulang Tahun.
Bagi saya, hari ultah adalah hari yang sangat menyenangkan. Terlebih lagi, saya harus menunggunya sampai hampir mendekati akhir tahun. Jadi selama berbulan-bulan sebelum hari ultah, biasanya saya membayangkan banyak hal, mau makan-makan dimana, mau beli apa saja, mau dirayakan atau tidak, kira-kira dapat kado dari siapa, dll.

Perayaan

Selama yang saya ingat, ada beberapa kali ulang tahun saya yang sempat dirayakan. Perayaan ulang tahun yang saya maksud adalah mengundang saudara dan teman-teman, ruangan berhias balon dan kertas krep warna-warni, kue tart, makan-makan, dan seremonial acara ultah pada umumnya. Yang saya ingat si (dan juga dilihat dari foto) saya merayakan ulang tahun ke-3, ke-4, ke-5, dan ke-17. Pada saat ulang tahun ke-3, ke-4, dan ke-5 saya masih menjadi anak tunggal, jadi ulang tahun saya pasti dirayakan. Sementara mulai ulang tahun ke-6 saya mulai punya adik, jadi bapak dan ibu mulai repot mengurusnya. Setiap hari-hari ulang tahun berikutnya biasanya hanya membeli kue tart atau membuat nasi kuning dan dimakan bersama keluarga. Nah, ketika ulang tahun ke-17 saya memang ingin membuat perayaan lagi. Seperti remaja pada umumnya, usia 17 seperti menjadi penanda seseorang mulai dianggap dewasa. Oleh sebab itu sayapun merasa ingin merayakannya. Dibantu beberapa teman, saya mulai membuat undangan, memesan kue tart, menghias rumah, dan... jadilah perayaan itu dilakukan pada 31 Desember 2006. Kemudian setelah itu, empat kali ulang tahun selama masa kuliah saya lewatkan dengan makan-makan bersama sahabat. Entahlah, sampai saat ini saya belum merasa ingin mengadakan perayaan lagi.

Kado

Satu hal yang saya suka dari hari ulang tahun adalah kado. Ya iyalah, semua orang juga suka kado. Gak pas ulang tahun dapet kado juga pastinya seneng. Apalagi dapet kado pas hari spesial. Saya paling suka momen membuka bungkusan kado. Kalo beberapa orang suka gak sabaran membuka kado, jadi langsung disobek aja, saya justru menikmati saat-saat melepaskan satu demi satu selotip yang menempel, membuka lipatan demi lipatan kertas pembungkus, sambil menerka-nerka hadiah apa yang akan saya dapatkan. Semasa kecil, setiap merayakan hari ulang tahun saya bisa mendapatkan puluhan kado dari tamu undangan. Tapi sepertinya jumlah usia berbanding terbalik dengan jumlah kado yang didapat. Terakhir saya mendapat kado lumayan banyak, ya ketika merayakan ulang tahun ke-17. Semakin bertambah usia, kado yang saya dapatkan saat ulang tahun hanya satu atau dua barang saja.

Doa-Doa Cantik

Hal lain yang menggembirakan ketika hari ulang tahun tiba adalah semua orang yang “mendadak” mendoakan saya. Entah tulus dari hati atau sekadar basa-basi, tapi itu semua adalah doa-doa yang baik. Jadi saya amini saja semuanya, tak lupa juga mengucap terima kasih.

29 Desember 2012

Hari ini, hari ulang tahun saya yang ke-23, hari yang saya nantikan sejak awal pergantian tahun 2012, akhirnya terlewati juga. Tidak bisa dibilang “hari yang sempurna”, tapi sejujurnya ini tidak terlalu buruk. Not bad lah. Karena kadang selalu melihat ke atas itu bisa bikin leher pegal dan kesemutan, bahkan kram. Jadi saya memutuskan untuk sesekali melihat ke bawah, supaya lebih bisa nrimo dan bersyukur, juga agar leher gak terlalu pegal. Semoga di usia yang sudah lebih banyak dari nama bioskop, saya bisa lebih bermanfaat bagi orang lain, karena, bukankah sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain? ^___^

Sabtu, 22 Desember 2012

Hari Ibu

Tanggal 22 Desember seluruh masyarakat Indonesia merayakan Hari Ibu. Sebuah peringatan terhadap peran seorang perempuan dalam keluarganya, baik itu sebagai istri untuk suaminya, ibu untuk anak-anaknya, maupun untuk lingkungan sosialnya. Tahukah Anda sejarah Hari Ibu sampai ditetapkan sebagai perayaan nasional?

Peringatan Hari Ibu diawali dari berkumpulnya para pejuang perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatra dan mengadakan Konggres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Salah satu hasil dari kongres tersebut salah satunya adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Namun penetapan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938. Bahkan, Presiden Soekarno menetapkan tanggal 22 Desember ini sebagai Hari Ibu melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959.

Para pejuang perempuan tersebut berkumpul untuk menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan. Para feminis ini menggarap berbagai isu tentang persatuan perempuan Nusantara, pelibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan, pelibatan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa, perdagangan anak-anak dan kaum perempuan. Tak hanya itu, masalah perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita, pernikahan usia dini bagi perempuan, dan masih banyak lagi, juga dibahas dalam kongres itu. Bedanya dengan jaman sekarang, para pejuang perempuan itu melakukan pemikiran kritis untuk perkembangan perempuan, tanpa mengusung kesetaraan gender.

Penetapan Hari Ibu ini diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nyak Dien, Cut Meutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said, dan lain-lain. Selain itu, Hari Ibu juga merupakan saat dimana kita mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini.

Kini, Hari Ibu di Indonesia diperingati untuk mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih kepada para ibu. Berbagai kegiatan dan hadiah diberikan untuk para perempuan atau para ibu, seperti memberikan kado istimewa, bunga, aneka lomba untuk para ibu, atau ada pula yang membebaskan para ibu dari beban kegiatan domestik sehari-hari.


*dari berbagai sumber

Minggu, 16 Desember 2012

Hari Minggu yang Luar Biasa

Berhubung mbak'e yang suka ngrewangi beberes rumah hari ini ga dateng karena sakit, akhirnya saya, Bapak, dan Ibu sukses menerapkan mata pelajaran PPKn Bab Gotong Royong. Heuheuheu...

Saya bertugas membersihkan rumah, meliputi nyapu, ngepel, cuci piring.
Ibu sibuk memasak di dapur.
Bapak merapikan tanaman di kebun, eh di halaman.

Menjelang dzuhur, harum masakan Ibu mulai tercium. Tugas hampir selesai dan perut mulai keroncongan. Nyam nyammm... ga sabar mau nyicipin semua yang Ibu masak. Di meja sudah tersedia Sop Makroni, Bihun Goreng, Usik Ati Ampela, Tempe Goreng, dan Sambel Terasi. Berhubung gak sempet ke pasar, akhirnya masak seadanya aja yang ada di tukang sayur keliling. Tapi tetep, mak nyuusss. Sllrrruuuppp...

Bapak minta dibikinin Jus Alpukat, saya sih Es Teh aja cukup untuk menyegarkan tenggorokan. Selesai makan bareng, kami nonton tivi sebentar. Setelah itu, Bapak melanjutkan ngublek-ngublek tanaman yang lumayan lama gak terawat. Saya ikut bantuin juga.

Hari mulai sore ketika saya dan Bapak menyirami tanaman sebagai langkah akhir proses berkebun hari ini. Setelah itu, kami duduk-duduk di teras rumah, mengobrol apapun. Tiba-tiba Ibu datang membawa teh hangat dan sebaskom kacang rebus, hasil pemberian tetangga yang kebetulan sedang panen kacang. Kamipun lanjut mengobrol, bercanda, membicarakan apa saja sampai senja menyapa.

Senang rasanya bisa melakukan kegiatan bersama keluarga. Padahal sih biasanya tiap hari minggu kami sibuk dengan kegiatan masing-masing, gak beda jauh dengan hari-hari lainnya. Bapak dan Ibu sibuk kerja, adik saya sibuk sekolah dan main, sementara saya sibuk mencari kesibukan.

Tapi hari ini bedaaa banget. Hari ini, hari minggu yang luar biasa... ^_______^

#BahagiaItuSederhana



nb: jangan tanyain dimana adik saya sekarang, kok ga masuk di dalam cerita. Dia lagi asik-asikan liburan di Bali selama lima hari, study tour dari sekolahan gitu deh... -___-"
 

Selasa, 11 Desember 2012

Request Bingkisan Akhir Tahun

Untuk hari ke dua puluh sembilan di bulan Desember tahun ini, pengeeennn bangeeett dapet:

gambar keren ini hasil minjem dari sini




Adakah yang mau ngasih??? *ngarep*

Minggu, 09 Desember 2012

Filosofi Air - Tao Te Ching



gambar diambil dari sini
Air bersifat mengalah, namun tidak pernah kalah
Air mematikan api dan membersihkan  kotoran
Kalau merasa sekiranya akan dikalahkan, air meloloskan diri
Dalam bentuk uap dan kembali mengembun

Air merapuhkan besi hingga hancur menjadi abu
Bilamana bertemu batu karang, dia akan berbelok
Untuk kemudian meneruskan perjalanannya kembali

Air membuat jernih udara sehingga angin menjadi mati
Air memberikan jalan pada hambatan dengan segala kerendahan hati
Karena dia sadar bahwa tak ada suatu kekuatan apapun
Yang dapat mencegah perjalanannya menuju lautan

Air menang dan mengalah, dia tak pernah menyerang
Namun selalu menang pada akhir perjuangannya


Jumat, 07 Desember 2012

Cerpen: Laki-Laki Yang Kawin Dengan Peri - Kuntowijoyo

Mau jadi anggota DPR? Boleh, asal dengarkan cerita ini.

Namanya Kromo Busuk. Disebut busuk karena baunya. Entah karena luka di kakinya atau keringatnya, wallahualam. Menurut ilmu hakekat, yang layak disebut busuk itu hanya hati, tetapi maklumlah orang desa. Disebut kromo, atau suto, atau noyo, itu sama saja, karena begitulah orang Jawa diberi nama oleh orang sekitar. Kabarnya, ia pernah kawin dan punya anak di desa lain.

Pada mulanya, ia tinggal di tengah desa seperti orang-orang pada umumnya. Ia juga mempunyai sepetak sawah. Untuk yang tidak berkeluarga seperti dia cukuplah. Ia dapat berkebun, memlihara ayam, dan sesekali menukarkan hasil kebun ke pasar untuk garam dan pakaian. Pendek kata, orang boleh iri dengannya. Dalam keadaan ekonomi yang bagaimanapun ia ajan bisa bertahan, sebab ia tidak bergantung pada kebaikan hati pasar.

Tetapi rupanya ketenangan itu terganggu sejak tetangganya punya menantu orang luar desa. Menantu inilah yang mula-mula menyebabkan orang menuduh Kromo berbau busuk. Itu dimulai pada malam pertamanya.

“kau belum mandi sejak pagi,” katanya pada istri. Itu sungguh di luar dugaan. Biasanya ia diam saja meskipun (calon) istri itu tidak mandi barang tiga hari. Ketika istrinya bersumpah bahwa sudah mandi, malah dikatakannya bahwa untuk menghadapi hari itu sengaja dipilihnya sabun yang paling wangi, menantu itupun mencari-cari sumber bau itu. Mula-mula mertuanya laki-laki, laki-laki itu tersinggung, katanya lebih baik tidak punya menantu. Terpaksa orang banyak menyabarkannya. Untuk sebentar menantu itu mengalah dan kamar pengantin itu tenang kembali. Tetapi kamar itu ribut ketika menantu minta istrinya untuk menanyakan apakah ibu mertua hari itu tidak lupa mandi. Tentu saja permintaan itu ditolak. Hanya ketika menantu itu mengancam akan menanyakan langsung, istri itu mengalah. Istri itu bisa membayangkan betapa ibunya akan marah, pengalaman dengan ayahnya yang disangkanya akan tersenyum dengan tuduhan itu sudah membuatnya berhati-hati. Ia tidak langsung menanyakan pada ibunya. Dengan berputar-putar, akhirnya ia tahu bahwa ibunya sudah mandi.

“Ini sudah keterlaluan,” kata Ayah.

Ketika kemarahan akan ditujukan pada menantu karena tuduhan yang tidak-tidak, tiba-tiba datang orang-orang dari pos kamling. Mereka juga menanyakan asal bau busuk itu. Malam itu juga diadakan penggeledahan. Usaha itu ternyata tidak mudah, terbukti mereka tidak berhasil.

Begitulah berkat orang-orang dari gardu, seperti kena tenung tiba-tiba seluruh penduduk desa jadi sadar akan bau itu. Anak-anak di seekolah, di surau, di sungai saling menuduh temannya. Bahkan mereka yang di ladang atau di sawah dapat menciumnya. Pendek kata, sedang bersama atau sendiri. Akhirnya diadakan penelitian dari rumah ke rumah.

Pada waktu itulah ketahuan bahwa sumber bau busuk itu ialah Pak Kromo. Sudah barang tentu hal itu tidak diakui Pak Kromo sendiri. Katanya ia sudah mandi, suruh pakai sabun sudah, suruh minum jamu sudah, padahal ia tidak luka sedikit pun.

Diam-diam Kromo membangun gubuk baru di pinggir desa dan pindah ke sana. Akan tetapi, ternyata hal itu tidak memecahkan masalah. Bau busuk tidak juga hilang dari hidung orang desa. Pada malam hari, orang masih mengeluh. Ketika Kromo pergi ke warung, warung itu akan ditinggalkan pembeli. Demikian pula kalau ia pergi nonton wayang, orang akan bubar dan tinggal dalang, pesinden, dan niyaga yang melanjutkan dengan menutup hidung sekenanya. Para gadis desa tidak laku, karena jejaka-jejaka takut dengan bau yang akan menghalangi. Malam  bulan purnama juga sepi. Desa itu jadi sarang hantu. Pencuri berkeliaran dengan leluasa di malam hari, karena gardu ronda tidak dijaga lagi.

Kromo menyadari hal itu. Malam hari dia akan keluar desa untuk tidur di tengah sawah yang berbatu-batu, dan tidak dikerjakan, karena orang percaya itu tempat angker. Kromo sudah bertekad karena mati pun tidak ada yang kehilangan. Orang sudah berusaha mencegahnya dengan mengatakan bahwa tempat tinggalnya yang di pinggiran desa itu sudah lebih dari cukup. Tetapi ia sudah bulat. Menjelang malam orang akan melihat dia mengempit selembar tikar usang menuju batu di tengah sawah untuk tidur. Baru pagi-pagi ia pulang. Praktis ia tidak bisa bekerja, sebab orang akan bubar untuk menjauhinya.
Suatu malam seorang wanita cantik tiba-tiba sudah ada di dekatnya. Ia tidak tahu dari mana perempuan itu datang.

“Jangan takut, kaki. Saya ingin tahu kenapa setiap malam kau di sini.”

Entah apa sebabnya, tetapi rasa takutnya hilang. Maka ia [un bercerita tentang kesulitannya dengan orang. Ketika dia mengakhiri ceritanya, perempuan itu berkata,

“Sudah kaki. Kalau bangsa manusia tidak mau mengerti, jangan susah.”

Malam berikutnya ia dikawinkan di depan peghulu Naib Kecamatan yang sudah dikenalnya. Dihadirkan juga saksi-saksi. Perempuan yang dikawininya rasa-rasanya ia pernah ketemu sebelumnya, tetapi ia lupa di mana. Ia enggan bertanya, pokoknya wanita itu cantik di luar bayangan orang yang paling gila sekalipun. Dan malam itu dia memberikan kenikmatan yang luar biasa – yang tidak mungkin diceritakan demi sopan santun.

Malam berikutnya, beberapa orang yang kurang pekerjaan mencoba mengikutinya. Tetapi mereka akan kehilangan jejak ketika Kromo sudah memasuki sawah berbatu-batu dan tak ditanami itu. Masih disaksikan oleh mereka angin bertiup sepoi-sepoi dan pucuk padi tertunduk teratue, seperti angin sedang berjalan di atasnya. Katak-katak berbunyi serempak, juga kunang-kunang menuju tengah sawah. Udara menjadi dingin bukan main dan rasa kantuk yang tak tertahankan menyerang orang-orang dari gardu. Satu per satu mereka menguap dan tertidur di sembarang tempat. Kalau hari hujan dikabarkan bahwa tempat itu tidak kehujanan.

Begitulah yang terjadi untuk beberapa lama. Kalau Kromo kesiangan, orang akan menemukannya sedang mendekap sebuah batu. Yang mengherankan ialah rambut Kromo yang tidak putih, meskipun orang sebayanya sudah. Adapun baunya tidak juga hilang, malah lebih keras. Kalau dulu hanya di malam hari, sekarang juga tercium di siang hari. Sampai-sampai anak sekolah disuruh menimbuni sampah dan membersihkan semak-semak di sekitar sekolah.

Pak Kromo hampir dilupakan orang, kalau tidak seseorang melihat orang itu tiba-tiba sudah tua renta. Komentar orang bermacam-macam. “Itu biasa karena sebayanya malah sudah mati.” “Itu biasa karena bininya masih muda dan ia harus mengimbangi.” “Itu biasa, salahnya kawin dengan peri. Aku punya pengalaman daya sedot peri sungguh luar biasa, hingga tubuh bisa kering kerontang kalau terlalu sering ketemu. Apalagi tiap malam.”

Pada suatu malam, ada dua orang berpakaian seperti ketoprak datang di gardu ronda. Seorang dengan pakaian kesatria lengkap dengan kudanya, seorang lagi berpakaian lebih buruk tapi juga menunggang kuda. Tampaknya mereka pangeran dan pembantunya. Mereka menanyakan kenapa orang-orang desa menghina Pak Kromo, padahal dia orang baik-baik. Ia tak pernah menyakiti orang, selalu berkata lembut, menundukkan muka, suka menolong, tidak sombong, dermawan dalam kemiskinannya, suka memberi dalam kefakirannya. Pendek kata, ia termasuk orang-orang terbaik di desa. Tentu saja itu tidak butuh jawaban. Tidak seorangpun tahu ke mana para penunggang kuda itu pergi. Segera orang berkumpul. Perkara berkumpul tidak ada yang menandingi orang desa. Kemudian terdengar ledakan keras dari tengah sawah, sementara bau wangu tercium di mana-mana. Mereka segera pergi ke sawah. Masih mereka saksikan asap membumbung ke atas. Tahulah mereka bahwa Pak Kromo sudah meninggal dunia. Mereka hanya menemukan batu-batu, rumput, dan tikar. Mereka mengambil kesimpulan bahwa jenazah Pak Kromo dibawa ke dunia lelembut. Tiba-tiba orang merasa kehilangan. Sebagian orang merasa berdosa telah menyengsarakan Pak Kromo.

Sejak itu, terjadilah pageblug, epidemi, di desa. Tidak bayi, tidak remaja, tidak orang tua semua terkena. Pagi sakit sore mati, sore sakit pagi meninggal, siang masih mencangkul di sawah malam hari sakit, ibu-ibu kehabisan air susu. Orang sudah berusaha dengan membawa obor keliling desa, perempuan-perempuan telanjang mengelilingi rumah dan menyanyikan Dandanggula, “Ana kidung rumeksa ing wengi.” Tapi keadaan tidak menjadi baik, malah sebaliknya yang terjadi. habislah akal orang.

Akhirnya, datanglah kiai itu. Ia mengatakan kalau orang desa kurang bersyukur dan menganjurkan sedekah. Kemudian disepakati bahwa orang desa akan mengadakan kenduri dan mengaji sebagai layaknya orang menghormati yang sudah meninggal. Namun, yang sudah  mati tidak akan kembali lagi. Entah bagaimana nasibnya. Ada yang mengatakan dia jadi pengawal di sananya, ada yang mengatakan dia jadi pangeran disana, ada yang mengatakan dia jadi tukang rumput, dan ada pula yang mengatakan dia jadi rakyat biasa. Yang penting pakaiannya bagus-bagus dan dia jauh lebih muda. Ada yang pernah berjumpa, dan mengajaknya pulang. Betul dia menangis karena dunia ialah tempat yang sebaik-baiknya, meskipun penuh penderitaan, tetapi ia terikat perjanjian.

Demikianlah cerita itu. Ibaratnya, jangan disia-siakan orang lemah, dia akan bekerja sama meski dengan siluman sekalipun.

Yogyakarta, 14 April 1994

Senin, 03 Desember 2012

Njaluk Sego Kenteng

Hari menjelang sore ketika saya dan bapak ngobrol santai di teras rumah selepas ngiring manten salah seorang tetangga kami. Sedang asyik ngobrol, tiba-tiba saya melihat segerombolan anak berlari kecil di jalanan. Di belakangnya, dua orang tetangga saya menggendong bakul berjalan sedikit tergesa diikuti seorang tetua dan ibu-ibu muda. Anak-anak berteriak lantang, “njaluk sego kenteng... njaluk sego kenteng...”. Tanpa pikir panjang, saya menyambar camdig yang ada di meja dan berlari mengikuti rombongan itu. Saat itu, bukan sego kenteng yang saya harapkan. Saya cuma penasaran seperti apa sih prosesi di makam Kenteng, sekalian pengen foto-foto juga sih...

Rombongan berjalan melewati pematang sawah. Ya, makam Kenteng memang terletak di tengah area persawahan. Setelah sepuluh menit berjalan, sampailah kami di makam. Seorang tetua yang biasa saya sapa Pakde Rono memasuki makam sambil komat kamit entah membaca doa atau mantra. Diikuti dua orang pembawa bakul, mbak Iyah dan mbak Win memasuki area makam. Selanjutnya, seorang lelaki paruh baya, mas Kadar masuk juga ke dalam makam.

Suasana sekitar hening, anak-anak yang tadi berteriak-teriak pun diam seketika. Duh.... kok terasa agak mistis gimana gitu. Saya jadi berpikir, boleh gak ya ngambil foto disini? Kalo gak boleh, percuma dong aku ikut. Sedang sibuk-sibuknya dengan pikiran saya sendiri, tiba-tiba Pakde Rono nyeletuk, “rene nek arep njupuk gambar”. Sebenarnya saya geli mendengarnya. Pakde Rono seperti bisa membaca apa yang sedang saya pikirkan, hehe. Perlahan saya mendekat ke pagar pembatas makam berupa tembok setinggi satu meter dan siap mengabadikan prosesi ini.  
 Pakde Rono duduk di dekat gundukan tanah yang tertutup kain putih yang mulai kelabu, berkomat-kamit sambil menyalakan menyan di atas bunga sebagai sesajen. Proses ini dinamakan obong-obong. Sementara Pakde Rono mulai berdoa, mbak Iyah, mbak Win, dan mas Kadar mulai ‘membongkar’ isi bakul. Ada nasi, beberapa sayur, ayam ingkung, tempe goreng, perkedel kentang, krupuk serta peyek. Dua ayam ingkung yang semula masih utuh kemudian di cuil-cuil menjadi potongan yang lebih kecil.

Sekitar lima menit berlalu, prosesi diakhiri dengan membagi-bagikan nasi beserta kelengkapannya. Saya yang sama sekali gak kepikiran minta nasi, ya ga bawa wadah apapun. Padahal orang-orang yang lain ada yang bawa mangkok, baskom, bahkan ember! Ckckck. Akhirnya mbak Win berbaik hati menyobekkan selembar daun pisang, membentuknya menjadi pincuk dengan lidi seadanya, kemudian memberikannya kepada saya. Hehe... makasih mbak. Saya pun ikut antre pembagian makanan ini. Ingin merasakan sensasinya. Makananpun dibagikan, nasi, sayur, lauk, peyek, semua dibagi rata kepada orang-orang yang datang ke makam itu. Semua senang, semua kenyang.
suasana pembagian makanan

rame kan?!

Sesampainya di rumah, saya bertanya pada bapak, sebenarnya apa sih tujuan membagikan makanan di makam Kenteng. Menurut bapak, hal itu memang sudah tradisi turun-temurun di daerah saya. Hal ini biasanya terkait dengan hajat atau nadzar tertentu dari warga desa kami. Misalnya ada orang yang sakit, lalu bernadzar, jika sembuh nanti akan membuat sego Kenteng. Maka ketika dia sembuh, dia wajib memenuhi nadzarnya tersebut. Sedangkan makam Kenteng itu konon adalah makam leluhur desa kami. Sebenarnya saya gak terlalu percaya hal-hal yang begituan. Tapi bagaimanapun juga kita tetap harus menghormati tradisi kan. Itung-itung berbagi rezeki pada tetangga sekitar juga sih.

Mari makaaannn... :9
nasi bagian saya... :)

Lokasi: Makam Kiai Santri Ds. Piji Kec. Bagelen Kab. Purworejo - Jawa Tengah

Sabtu, 01 Desember 2012

Mengenang Kota Bernama Majalengka

Demi menyempurnakan perkuliahan Dialektologi pada semester 5, saya dan teman-teman satu jurusan yang mengambil mata kuliah ini dititahkan untuk melakukan penelitian lapangan. Penelitian lapangan ini bertujuan untuk “membuktikan” teori-teori yang sebelumnya sudah kami dapatkan selama masa perkuliahan. Waktu itu mahasiswa yang mengikuti perkuliahan ini sebanyak 13 orang.

Setelah diskusi yang cukup alot antara dosen pengampu mata kuliah ini dengan seniornya (kami menyebutnya Mr. You Know Who) akhirnya ditetapkanlah bahwa kami, para mahasiswa akan meneliti dialek bahasa sunda di Provinsi Jawa Barat bagian timur. Ada enam kabupaten yang akan dijadikan titik pengamatan. Maka dari itu, kamipun dibagi menjadi enam kelompok. Setelah memilih sendiri partner untuk penelitian, maka saatnya menentukan titik pengamatan masing-masing kelompok yang dipilih secara undian. Hasilnya?


Icha dan Indah: Cirebon
Asty dan Ari N: Banjar
Candy dan Rara: Indramayu
Dino dan Ari: Tasikmalaya
Saya dan Larit: Majalengka
Irsyad, Hanifan, dan Dhanar: Kuningan

Hah, Majalengka?
Larit yang memaksa saya untuk mengambi gulungan kertas yang bertuliskan nama-nama titik pengamatan, dan itulah hasilnya. Majalengka... Majalengka... saya mengejanya seperti mantra. Jujur, saya sama sekali gak ada bayangan tentang kabupaten yang bernama Majalengka. Larit juga bilang gitu. Lalu? Pak dosen menganjurkan untuk browsing selengkap-lengkapnya tentang titik pengamatan kami masing-masing sebelum kami berangkat. Waktu kami pun tak banyak, hanya dua tiga hari mengambil data lapangan, lalu kembali ke kampus untuk mengolah data tersebut. Okesip, saya dan larit mulai berhayal tentang kabupaten bernama Majalengka.

Saking terinspirasinya sama film Punk In Love, saya dan larit MEMUTUSKAN untuk: 1) naik kereta ekonomi ke Majalengka. 2) berbekal peta n hasil browsing seadanya, pokoknya jalani aja. 3) berbekal uang seadanya. 4) tidak akan mengunakan fasilitas dari orang tua, misalnya bawa mobil sendiri, menginap di rumah saudara, dan sebagainya. 5) harus menyempatkan waktu untuk jalan-jalan.

Begitulah kira-kira kesepakatan antara saya dan Larit. Awalnya orang tua saya mengusulkan agar kami bawa mobil dan supir sendiri agar lebih mudah pergi mencari data. Tapi sesuai kesepakatan kami berdua, usul itu ditolak. Selanjutnya, inilah tahap awal perjuangan kami.

Bisa aja sih, tapi...   
Niat awal kami berpetualang dengan kereta ekonomi terpatahkan seketika saat kami melihat peta dan ternyata tidak ada “garis putus-putus hitam putih” yang menandakan jalur kereta menuju Majalengka. Setelah kami cek ke beberapa informan, Majalengka memang tidak dapat dicapai menggunakan kereta. Bisa aja sih naik kereta, tapi harus bangun jalur keretanya dulu. MAU? Gak deh, makasih.

Setelah dipastikan tidak bisa naik kereta, akhirnya kami cus ke terminal Jombor buat ngecek harga tiket Bus dan travel. Sesampainya di terminal, kami sedikit tercengang mendengar penjelasan dari beberapa agen travel. Begini ceritanya, karena letak geografis Majalengka yang berada ditengah-tengah antara jalur pantura dan jalur selatan, maka TIDAK ADA travel yang melewati kota Majalengka. Tapi berhubung tidak mau kehilangan kesempatan, maka agen travel itu menyanggupi untuk mengantar kami ke Majalengka dengan syarat membayar ongkos travel DUA KALI LIPAT dari harga trayek Jogja-Bandung. MAU? Gak deh, makasih.

Setelah “patah hati” dengan agen travel, akhirnya saya dan Larit berpaling ke agen Bus. Dan ternyata, hiks, agen Bus juga mematahkan hati kami. Ga beda jauh sama agen travel, agen Bus juga bilang kalo tidak ada Bus dari Jogja yang lewat Majalengka. Satu-satunya alternatif ya naik Bus, tapi kami harus turun Cirebon, kemudian nyambung naik Bus jurusan Cirebon-Bandung lalu turun di Majalengka. MAU? Ya mau gak mau sih.

Let’s Go!!! 
Akhirnya pagi itu, 14 April 2010, saya dan Larit naik Bus Citra Adi Lancar AB 7028 AS menuju Cirebon. Harga tiket Rp 80.000/orang. Kami berangkat dari Terminal Giwangan Yogyakarta sekitar pukul 09.00. Sepanjang perjalanan kami mengobrol dengan supir dan kernet bus. Kebetulan kami duduk di kursi nomor 1 dan 2. Yeaayyy... akhirnya kami tiba di Terminal Harjamukti Cirebon sekitar pukul 18.00. Setelah menunggu sekitar setengah jam, akhirnya kami (dibantu petugas terminal) menemukan Bus ekonomi menuju Majalengka. Seperti pada umumnya, bus ini pun ngebut dan ugal-ugalan sepanjang jalan. Akhirnyaaa setelah deg-degan dag dig dug dhuuueeerr... turunlah kami di Pos Polisi Kadipaten Majalengka.

Oh iya, selama dalam perjalanan, orang tua larit membujuk setengah memaksa dan akhirnya memerintahkan kami untuk menginap di rumah kenalan mereka. Pertimbangannya karena kami akan sampai di Majalengka pada larut malam, terlalu rawan bagi kami untuk mencari penginapan. Pertimbangan lainnya, kami juga bisa menghemat pengeluaran. Setengah terpaksa, akhirnya, ya udah deh, nurut aja. Oleh sebab itulah kami turun di Pos Polisi Kadipaten, lalu dijemput oleh kenalan orang tuanya Larit menggunakan becak. Ehm, sekadar informasi, becak di Majalengka ini ternyata ukurannya LEBIH KECIL dari becak yang ada di Jogja atau yang sering dilihat deh. Nah, silakan bayangkan SAYA dan LARIT yang gak langsing-langsing amat alias gendut dengan dua koper eliminasi a.k.a travel bag ukuran sedang (kenapa gak pake backpack aja coba?) berada dalam SATU BECAK MINI. Rasanya? Yo koyo ngono kaelah.

Setibanya di rumah Ibu Asih, jam menunjukkan pukul 11 malam, kami nekat mandi, numpang ngecas Hape, makan (ternyata udah disiapin), dan bobok manis. Selamat malam dari Majalengka.

Hari Pertama, 150410
Selamat pagi dari Majalengka. Kami bangun pukul 05.00, mandi, shalat subuh, dan sarapan. Ibu Asih udah nyiapin sebungkus nasi uduk, bakwan, n segelas teh manis hangat. Nyaammm... lidah saya yang terbiasa sama cita rasa masakan sunda si Aa’ Burjo depan kos dengan cepat menerima rasa nasi uduk dan bakwan yang gurih enak. Kalo Wong Jowo asli yang terbiasa rasa manis, pasti kurang cocok. Setelah selesai sarapan kami bersiap berangkat menuju kantor Sekretaris Daerah kabupaten Majalengka yang terletak di dekat Alun-Alun. Menaiki angkot 1C kami menuju Alun-Alun. Hmm... udara masih sejuk, matahari cerah, cocok banget buat foto-foto. Akhirnya kami narsis sebentar sebelum menuju kantor Setda.

mejeng depan kantor Bupati

Sesampainya di kantor Setda, ternyata kami ‘salah jurusan’. Oleh bapak-bapak pegawai disana, kami disarankan untuk datang ke Kantor Balai Perijinan dan Pelayanan Terpadu (BPPT), akhirnya kami naik angkot 1C lagi. Sesampainya disana, kami berbasa-basi menyampaikan maksud kedatangan kami. Setelah bercerita panjang lebar dan gondrong, menunggu beberapa saat, dan akhirnya kesimpulannya satu, kami ‘salah jurusan’ lagi. Pegawai di kantor BPPT menyarankan kami untuk datang ke kantor Kesbangpol kabupaten Majalengka. Akhirnya kami naik angkot 1C lagi, dan parahnya ternyata supir angkotnya gak tahu dimana letak kantor Kesbangpol. Setelah beberapa kali gonta ganti angkot tanya sana sini akhirnya ketemulah kantor Kesbangpol di daerah yang lumayan sepi, tapi sebenernya dilewatin jalur angkot 1C sih. Setelah sampai disana kami mengurus surat ijin penelitian dan akhirnya masih harus diribetkan oleh birokrasi yang lempar sana lempar sini, dan akhirnya surat ijin penelitian akan jadi BESOK. Nah kan. Kami udah ga bisa kompromi lagi sama bapak pegawai di sana, akhirnya setengah putus asa kami meninggalkan kantor itu. 

Hari masih terlalu siang untuk pulang ke rumah. Akhirnya kami iseng-iseng naik angkutan umum yang namanya ELF (Bukan fansnya Suju loh! :P) tapi orang sunda lazim menyebutnya Elep. Entah kemana Elep ini menuju, kami ikut saja. Akhirnya ketika sampai di dekat lapangan luas kami memutuskan untuk berhenti. Kebetulan di dekat situ ada kantor Camat Maja. Setelah shalat dan makan mie ayam, kamipun iseng-iseng masuk ke dalam dan bertemu dengan bagian pelayanan kantor Camat Maja. Setelah bercerita panjang lebar dibumbui sedikit garam, merica, dan gula akhirnya bapak itu kasihan pada saya dan Larit. Kebetulannya lagi disitu sedang ada Sekdes Tegal Sari. Kamipun langsung menuju desa itu ditemani bapak Sekdes yang kemudian juga mencarikan pembahan untuk penelitian kami. Alhamdulillah... jadilah kami mengambil data walaupun belum dapat surat ijin penelitian dari kantor Kesbangpol (salahe suwi! :P).

Hari Kedua, 160410
Data yang kami butuhkan sudah ditangan, hari ini mau apa ya. Bisa aja sih kami pulang pagi ini, tapi kan belum jalan-jalan, hehehe...

Pagi itu kami datang lagi ke kantor Kesbangpol untuk mengambil surat ijin penelitian. Sebenarnya bisa aja sih gak usah diambil, buat apa juga. Toh kami sudah mendapatkan data yang kami butuhkan. Tapi demi menjaga nama baik almamater, jeng jeng jeng... jadilah kami balik lagi ke kantor itu. Berbasa-basi sedikit, lalu cuss kabuuurrr...

Hari masih terlalu pagi untuk pulang dan sekadar nonton tipi di rumah Ibu Asih. Kemana ya enaknya... berbekal sedikit info tentang objek wisata yang dekat di daerah Majalengka, akhirnya tercetuslah nama sebuah tempat: WADUK DARMA.

Kami naik Elep lagi , sempat nyambung dua kali, dan setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih satu jam, akhirnya sampailah kami di tempat wisata Waduk Darma yang terletak di kabupaten Kuningan. Waduknya sepiiii banget. Ada beberapa warung penjual makanan, beberapa pasang orang pacaran, dan juga segerombolan anak sekolah. Katanya sih kalo hari libur biasanya banyak pengunjungnya. Setelah cukup foto-foto, akhirnya kami pulang naik Elep lagi. Pulangnya hujan deraaasss banget. Kami sampai di rumah Ibu Asih sekitar pukul setengah 3, dan bersiap untuk pulang. Setelah mandi dan berkemas, kami berpamitan dengan keluarga Ibu Asih dan menunggu bus menuju terminal Cirebon dari depan Pos Polisi Kadipaten.


aku dan perahu, menikmati kesendirian

Pulang...
Kami sampai di terminal Cirebon menjelang maghrib. Kebetulan, kami ketemu lagi sama bus yang kemarin membawa kami kesini. Wah, cocok deh. Kernetnya yang ternyata masih hafal sama saya dan Larit akhirnya membantu membawakan tas-tas kami. Kamipun duduk di kursi nomor 3 dan 4, tepat dibelakang supir, kursi favorit saya. Selepas maghrib, bus beranjak dari terminal Cirebon, bismillah. Sepanjang perjalanan Larit tidur pulaaasss sekaliii. Sementara saya tetap asyik mengobrol sama kernet bus dan menikmati perjalanan malam itu. Hmm... kebetulan saya sudah lama tidak naik bus malam, jadi sepanjang perjalanan saya tidak tidur.

Akhirnyaaa... kami sampai di kota Jogja tercinta hari sabtu, 17 April 2010. Kami turun di pool bus CAL, kemudian diantar oleh mobil menuju kediaman masing-masing. Well... selesai sudah petualangan kami di Majalengka. Selanjutnya, tinggal bermumet-mumer ria mengolah data penelitian yang sudah kami dapatkan. Tapi, pengalaman kemarin itu benar-benar tak kan terlupakan sampai kapanpun. TIGA HARI UNTUK SELAMANYA ^_______^

Dan inilah hasil kerja kami semua, peta heteroglos untuk Bahasa Sunda dialek Jawa Barat bagian timur...

koleksi pribadi
Cantik yaaa... kata pak dosen malah terlalu rapi, malah lebih mirip kristik daripada peta heteroglos. Siapa dulu yang bikiiinnn... *bukan saya :p

Kamis, 29 November 2012

Tentang Tembang Lingsir Wengi

Saya adalah orang Jawa yang sangat menyukai lagu-lagu Jawa seperti keroncong, langgam, gendhing jawa, dan juga campur sari. Sengaja saya tekankan bahwa saya sangat menyukai, karena pada kenyataannya banyak orang Jawa yang justru lebih menyukai lagu-lagu barat dan memandang rendah musik tradisional Jawa. Masalah suka atau tidak suka, itu hak asasi setiap manusia sih. Tapi mbok ya o jangan merendahkan budaya lain juga. 


Ya udahlah, back to topic aja.

Banyak banget lagu campur sari yang saya suka, koleksinya Didi Kempot misalnya Ketaman Asmoro, Sewu Kuto, Layang Kangen, Tanjung Mas Ninggal Janji, Cidro, Luntur, dan Kalung Emas. Koleksi Nurhana misalnya Mawar Biru dan Lingsir Wengi. Ada juga soundtrack wajib hajatan yaitu lagu Nyidam Sari yang dinyanyikan oleh (Alm.) Manthous. Hmm... kali ini saya akan beropini sedikit tentang lagu Lingsir Wengi. Sepertinya ada sesuatu yang harus saya luruskan (emangnya keriting? :P).

Seperti yang banyak sekali ditulis pada blog-blog lain (yang menurut saya salah kaprah) banyak yang bilang kalo lagu campur sari yang berjudul Lingsir Wengi adalah lagu pemanggil kuntilanak. Hah, kok bisa? Yang lebih parah nih, pernah suatu hari saya menyetel lagu ini (kebetulan malam hari) dan tiba-tiba teman kos berteriak histeris, “mbak Desti, ngapain sih nyetel lagu itu? Ntar ada kuntilanak dateng loh.” Ckckckck... saya cuma bisa geleng-geleng kepala. Coba deh dengerin lagunya dan cermati liriknya:



Lingsir wengi sepi durung biso nendro
kagodo mring wewayang kang ngreridu ati
kawitane mung sembrono njur kulino
ra ngiro yen bakal nuwuhke tresno
nanging duh tibane aku dewe kang nemahi
nandang bronto kadung loro
sambat sambat sopo
rino wengi sing tak puji ojo lali
janjine mugo biso tak ugemi...
            (tengah malam, sunyi dan belum bisa terpejam)
            (tergoda pada bayangan yang dirindukan hati)
            (mulanya hanya bercanda, lama-lama terbiasa)
            (tidak menyangka bisa tumbuh rasa cinta)
            (tapi pada akhirnya aku sendiri yang menanggung)
(merasakan cinta dan terlanjur sakit)
(mau mengeluh sama siapa)
(siang malam yang ku puja janganlah lupa)
(janjinya semoga bisa kupercaya)

Lah to, dari liriknya aja udah kelihatan kalo lagu campur sari yang berjudul Lingsir Wengi itu lagu cinta. Syair yang menggambarkan seseorang yang sedang jatuh cinta dan merindukan kekasihnya. Terus mana lirik yang katanya mantra untuk manggil kuntilanak? Sebelah mananya coba? Ckckckck...

Mungkin, yang dimaksud mantra pemanggil kuntilanak itu lagu Lingsir Wengi yang seperti ini:

Lingsir wengi sliramu tumeking sirno
Ojo tangi nggonmu guling
Awas ojo ngetoro
Aku lagi bang wingo wingo
Jin setan kang tak utusi
Dadiyo sebarang
Wojo lelayu sebet
            (menjelang malam dirimu mulai sirna)
            (jangan terbangun dari tidurmu)
            (awas, jangan terlihat)
            (aku sudang gelisah)
            (jin setan yang kuperintahkan)
            (jadilah apapun juga)
            (namun jangan membawa maut)

Mungkin juga sih, saya juga ga tau pasti. Tapi yang saya baca di sini sih, lagu lingsir wengi yang ini juga bukan mantra pemanggil kuntilanak.

Jadi, kesimpulannya, lagu campur sari yang berjudul Lingsir Wengi BUKAN lagu pemanggil kuntilanak. Tapi lagu cinta seperti lagu lainnya. Jadi tolong dong ya, jangan menghakimi begitu. Ya mungkin salah saya juga sih, nyetel lagunya tengah malam. Jadi terasa mrinding-mrinding gimana gitu. Padahal saya suka banget lagu ini. Liriknya itu loh... sederhana tapi #makjleb banget. Saking sukanya, potongan lirik lagu ini sering banget saya jadiin status di FB dan Twitter, heehehe. Sekian.

Senin, 12 November 2012

Aku Pulang...

Seperti mimpi buruk, semuanya begitu cepat terjadi. Keputusan mendadak tanpa rencana, datang ke kos, mengacak-acak yang biasanya tertata rapi, packing, mobil datang, angkut-angkut, pelukan perpisahan... dan cling! saya sudah ada di rumah dengan setumpuk koleksi barang semasa kuliah yang selama ini tersimpan rapi di sebuah ruangan berukuran 4 X 4 M bernama Kost.

Sangat berat, tapi harus dilalui.
Hingga hari ini, seminggu setelah kejadian itu,
masih terlalu menyakitkan mengingat semuanya...

luka itu belum sembuh.

Senin, 29 Oktober 2012

Atu Tanen Tamu



Saya dan Tata
Agatha Febi Ayu Cahyaningtyas, nama lengkapnya. Biasa dipanggil Tata. Gadis kecil itu kini berusia sekitar lima tahun. Saya mengenalnya dua tahun lalu, ketika menjalani program KKN di Bimomartani, Ngemplak, Sleman, DIY. Tata adalah anak bungsu Bapak Dukuh tempat saya menumpang hidup selama dua bulan. Waktu itu usianya msih tiga tahun. Seperti kebanyakan anak kecil seusianya, Tata nampak malu-malu ketika pertama kali bertemu. Tapi beberapa jam kemudian dia mulai terlihat akrab dan mau bercanda bersama kami, para mas dan mbak KKN. Itu semua berkat salah seorang kawan saya bernama Febe yang jago banget dalam hal menaklukan hati anak kecil.


Febe, Tata, dan Saya

Sejak saat itu, Tata sangat dekat dengan kami, terutama para mbak KKN (Saya, Febe, dan Siti). Dia seperti menemukan pengganti kakak perempuannya (mbak Wahyu) yang waktu itu pergi ke Jakarta untuk bekerja. Kemana kami pergi, Tata selalu ingin ikut. Bahkan tidur siangpun, dia minta ditemani saya dan febe. 


Tata yang lucu dan menggemaskan...

Tata yang hanya mau sarapan pagi pake mi doleng (mi goreng) atau uning-uning (telur mata sapi, tapi hanya kuning telurnya),

Tata yang setiap ikut pergi ke Felarosa atau Indomaret selalu minta dibelikan sotat (coklat choki-choki) dan adeng-adeng (ager-ager),

Tata yang selalu membuat kami tertawa meski dalam keadaan seburuk apapun,

Tata yang disayang semua orang karena ia anak bungsu dan rentang usia dengan kakaknya sekitar 15 tahun,

Tata yang ngomongnya belum jelas. Atu (aku), matok (mangkok), towe (kowe, kamu), Badong (Bagong, nama anjing), tambi (klambi, baju), dan masih begitu banyak kosakata anak-anak yang saya dengar bahkan sempat terpikir untuk menjadikannya topik skripsi,

Tata yang menangis histeris ketika kami tak lagi “menginap” di rumahnya karena jadwal KKN tlah usai,

Tata yang...

Ah... begitu banyak kenangan indah tentangnya. Gadis kecil yang lucu, lincah, dan ceria yang selalu membuat kami merindunya setiap waktu.

nggaya banget!!!

Sebesar apa ya dia sekarang? Masih cadel kah? Masih susah makan sayur kah? dan...

Masih ingat kami kah?

Tata, atu tanen tamu...
Miss You! :-*