Selasa, 14 April 2015

Kereta, Satu Dasawarsa

Bagaimana rasanya naik kereta? Saya hampir lupa. Terakhir kali saya naik kereta untuk perjalanan jauh itu sekitar tahun 2005, semasa saya masih SMA. Berarti sudah sepuluh tahun yang lalu.
Naik Prameks? Cuma ‘sempat’ dua kali, itupun karena terpaksa. Selama ini kalau berangkat dari Purworejo mau ke Jogja atau sebaliknya, lebih nyaman naik motor sendiri. Katanya, kereta sekarang sudah jauh lebih nyaman dan aman dari yang terakhir kali saya naiki. Syukurlah kalau itu benar.
Setelah sekian lama ‘meninggalkan’ blog ini, maka untuk merayakan ‘kepulangan’ saya, kali ini saya akan curhat tentang suatu hal yang juga telah begitu lama saya tinggalkan. Naik Kereta.

Kereta selalu membawa saya pada dua kenangan perjalanan yang tak begitu baik. Dulu... dulu sekali, ketika saya masih berumur empat tahun, saya pernah pulang kampung ke Purworejo saat lebaran. Entah bagaimana ceritanya waktu itu, semasa arus balik kami dan ratusan orang lainnya ‘bergelimpangan’ di Stasiun Kutoarjo menunggu kepastian keberangkatan kereta yang akan membawa kami kembali ke Jakarta. Pada akhirnya kami memang bisa naik kereta. Tapi kami tidak dapat tempat duduk dan hanya lesehan diantara kursi-kursi beralaskan kertas koran. Saya gak ingat gimana sensasi naik keretanya, yang saya ingat sampai sekarang hanya bagaimana Bapak, Ibu, dan saya mirip gembel selama perjalanan kembali ke Jakarta.

Pengalaman buruk kedua sekitar awal Juni 2005, saya sekeluarga pergi ke Jakarta menggunakan kereta. Waktu itu, kami hanya kebagian kereta ekonomi karena terkait jadwal keberangkatan. Sepanjang perjalanan dari stasiun Kutoarjo sih semua baik-baik aja. Tapi ketika sampai di daerah Karawang, sekitar jam 3 pagi, tiba-tiba insiden itu terjadi. Kami yang mulai terlelap dan lelah tiba-tiba dikejutkan dengan suara teriakan Ibu. Ada orang yang menjambret tas Ibu dari jendela kereta. Jadi kemungkinan si penjambret itu naik di atap gerbong kemudian merampas tas Ibu lewat jendela. Sesampainya di stasiun Jatinegara kami langsung melaporkan ke Polsuska, namun semua hanya sebatas laporan saja. Karena sangat sulit mengusut kasus penjambretan di kereta pada waktu itu.

Setelah tahun 2005 itu, saya tidak pernah lagi naik kereta. Mungkin trauma, mungkin juga karena kebetulan lebih memilih naik kendaraan lain semisal mobil pribadi atau bus.

Tahun-tahun berlalu... kabar tentang pembenahan sistem keamanan dan layanan di atas kereta sampai di telinga saya. Tapi saya sekalipun tak pernah tertarik membuktikannya sendiri. Ibu dan adik saya yang berkali-kali wira-wiri naik kereta juga sering berkisah bahwa naik kereta itu sekarang lebih aman dan nyaman. Ah... bodo amat, batin saya.

Sampai akhirnya minggu lalu, tanggal 5 April 2015 saya berkesempatan naik kereta (lagi) untuk menghadiri acara pernikahan teman saya di Pasuruan, Jawa Timur. Saya dan lima teman lain berangkat dari Stasiun Lempuyangan pukul 07.15 WIB naik kereta Sri Tanjung dan turun di Stasiun Bangil dengan harga tiket 100.000 rupiah. Sementara untuk kembali ke Jogja kami menaiki kereta Logawa dengan harga tiket 80.000 rupiah. Berikut hasil pengamatan saya: 1) harga tiket kereta relatif lebih murah dibanding harga tiket bus (untuk tujuan yang sama). 2) lumayan nyaman karena ada AC yang selalu menyejukkan tiap gerbong. 3) waktu tempuh relatif lebih singkat dibandingkan kendaraan darat lainnya. 4) ternyata saya bisa makan, bisa ngobrol, bisa mainan hp selama perjalanan, dan saya sama sekali gak mabuk perjalanan! *ini yang paling penting*  Beda banget sama kalo naik mobil atau bus.

Perjalanan pergi pulang Jogja-Pasuruan dengan dua kali kesempatan naik kereta itu rasanya... rasanya...

Ah, rasanya saya mulai jatuh cinta naik kereta... ^^