Rabu, 20 November 2013

Ketika Merapi "Batuk"

Pagi itu cuaca di Purworejo cerah. Maklum, hujan deras mengguyur hampir semalam penuh. Setelah mandi dan bersiap berangkat ke Jogja, saya iseng-iseng menyetel tv. Setengah terhenyak saya melihat headline berita di salah satu stasiun tv, “Merapi Meletus”. Mak dheg. Si penyiar nampak sedang melakukan telewicara dengan salah satu nara sumber di lokasi kejadian. Saya baca dengan cermat lokasinya. Cangkringan. Iyaa.. bener... Gunung Merapi. Semula saya pikir mungkin Gunung Marapi yang ada di Sumbar. Langsung saya konfirmasi ke beberapa teman yang ada di Jogja. Iya benar merapi ‘batuk’. Tapi tidak separah tahun 2010 dan suasana saat ini sudah kondusif. Alhamdulillah.

Seketika ingatan saya melayang pada bulan Oktober-November tiga tahun lalu... Erupsi Merapi. Banyak momen yang tak terlupakan saat itu. Tapi ada yang paling membekas dalam ingatan saya, tanggal 5 November 2010.

Tengah malam itu saya dikejutkan dengan ketukan bertubi-tubi di pintu kamar kost. Saya keluar kamar, dan keadaan terlihat sangat kacau. Beberapa teman kost menangis sesenggukan sambil berpelukan. Terdengar pula suara tak tok pletak pletok dari atas atap kamar kost. Dengan polos dan setengah mengantuk saya bertanya, “ada apa?”. Huh, pertanyaan bodoh. “Hujan pasir dan kerikil, Des. Merapi meletus!” seru salah seorang teman kost dengan wajah panik. Saya juga panik sih, tapi juga gak tahu harus berbuat apa. Suasana kost bertambah kacau ketika ada salah seorang teman yang malam itu juga, pulang ke rumahnya di Bantul. Dia bilang mau mengungsi  karena kondisi daerah sekitar kost sudah kacau. Ditambah lagi katanya batas zona aman Merapi sudah mencapai radius 20 km. Saya dan teman-teman yang lain kemudian menghabiskan waktu dengan menonton tv di salah satu kamar dan memantau keadaan merapi sampai pagi.

Menjelang siang, saya dan beberapa teman sempat ‘jalan-jalan’ memantau keadaan sekitar. Jalanan berdebu, suara ambulans wira-wiri menambah miris dan dramatis suasana saat itu. Tiba-tiba Ibu menelepon dan meminta saya untuk pulang ke rumah di Purworejo saat itu juga. Bagaimanapun keadaannya, akan lebih baik jika berkumpul bersama keluarga. Maka hari itu saya berkemas dan langsung pulang ke rumah. Melewati perempatan Kentungan jalan Kaliurang ring road utara, saya melihat beberapa reporter dari berbagai stasiun tv sedang melaporkan berita terbaru seputar keadaan pasca letusan Merapi. Perjalanan kali ini, benar-benar perjalanan yang luar biasa. Saya memacu motor saya hanya 60km/jam. Menikmati ‘pemandangan’. Sesekali bahkan lebih lambat dari itu, jika kondisi jalan sangat licin akibat abu merapi yang terkena hujan gerimis. Jarak pandang juga sangat terbatas karena abu yang tertiup angin. Perjalanan Jogja-Purworejo yang biasanya hanya sekitar 90 menit, kali itu saya tempuh hampir 4 jam!

Memasuki kecamatan Bagelen, tempat tinggal saya yang berbatasan dengan provinsi DIY, saya ‘terkagum-kagum’ dengan ‘pemandangan’ di sekitar saya. Astaghfirullah... rasanya seperti mimpi melihat itu semua. Pohon-pohon pisang tumbang, rumpun-rumpun bambu rebah menutupi jalan, jalanan.. atap.. rumah.. dedaunan... semua berselimut abu. Kendaraan semakin sulit berjalan karena licinnya jalanan. Abu merapi setinggi hampir 5cm menutupi jalanan. Ditambah lagi, rintik gerimis yang datang sesekali membuat abu itu menjadi licin. Mungkin kalau hujan deras sekalian malah bisa sedikit membersihkan abu yang ada di jalanan.

Ada yang lebih membuat saya mengelus dada, listrik di daerah saya padam karena kabarnya ada kerusakan jaringan. Total pemadaman listrik selama 35 jam! Bayangkan bagaimana bisa kami hidup tanpa listrik selama waktu itu. Yaa... hitung-hitung prihatin, merasakan saudara-saudara kita di pelosok negeri yang belum mencicipi nikmatnya hidup dengan listrik menyala.

Syukurlah kali ini Merapi hanya ‘batuk’, tidak seperti erupsi tahun 2010 lalu. Kabarnya abu Merapi kali ini mengarah ke timur dan utara sesuai hembusan angin.