Senin, 03 Desember 2012

Njaluk Sego Kenteng

Hari menjelang sore ketika saya dan bapak ngobrol santai di teras rumah selepas ngiring manten salah seorang tetangga kami. Sedang asyik ngobrol, tiba-tiba saya melihat segerombolan anak berlari kecil di jalanan. Di belakangnya, dua orang tetangga saya menggendong bakul berjalan sedikit tergesa diikuti seorang tetua dan ibu-ibu muda. Anak-anak berteriak lantang, “njaluk sego kenteng... njaluk sego kenteng...”. Tanpa pikir panjang, saya menyambar camdig yang ada di meja dan berlari mengikuti rombongan itu. Saat itu, bukan sego kenteng yang saya harapkan. Saya cuma penasaran seperti apa sih prosesi di makam Kenteng, sekalian pengen foto-foto juga sih...

Rombongan berjalan melewati pematang sawah. Ya, makam Kenteng memang terletak di tengah area persawahan. Setelah sepuluh menit berjalan, sampailah kami di makam. Seorang tetua yang biasa saya sapa Pakde Rono memasuki makam sambil komat kamit entah membaca doa atau mantra. Diikuti dua orang pembawa bakul, mbak Iyah dan mbak Win memasuki area makam. Selanjutnya, seorang lelaki paruh baya, mas Kadar masuk juga ke dalam makam.

Suasana sekitar hening, anak-anak yang tadi berteriak-teriak pun diam seketika. Duh.... kok terasa agak mistis gimana gitu. Saya jadi berpikir, boleh gak ya ngambil foto disini? Kalo gak boleh, percuma dong aku ikut. Sedang sibuk-sibuknya dengan pikiran saya sendiri, tiba-tiba Pakde Rono nyeletuk, “rene nek arep njupuk gambar”. Sebenarnya saya geli mendengarnya. Pakde Rono seperti bisa membaca apa yang sedang saya pikirkan, hehe. Perlahan saya mendekat ke pagar pembatas makam berupa tembok setinggi satu meter dan siap mengabadikan prosesi ini.  
 Pakde Rono duduk di dekat gundukan tanah yang tertutup kain putih yang mulai kelabu, berkomat-kamit sambil menyalakan menyan di atas bunga sebagai sesajen. Proses ini dinamakan obong-obong. Sementara Pakde Rono mulai berdoa, mbak Iyah, mbak Win, dan mas Kadar mulai ‘membongkar’ isi bakul. Ada nasi, beberapa sayur, ayam ingkung, tempe goreng, perkedel kentang, krupuk serta peyek. Dua ayam ingkung yang semula masih utuh kemudian di cuil-cuil menjadi potongan yang lebih kecil.

Sekitar lima menit berlalu, prosesi diakhiri dengan membagi-bagikan nasi beserta kelengkapannya. Saya yang sama sekali gak kepikiran minta nasi, ya ga bawa wadah apapun. Padahal orang-orang yang lain ada yang bawa mangkok, baskom, bahkan ember! Ckckck. Akhirnya mbak Win berbaik hati menyobekkan selembar daun pisang, membentuknya menjadi pincuk dengan lidi seadanya, kemudian memberikannya kepada saya. Hehe... makasih mbak. Saya pun ikut antre pembagian makanan ini. Ingin merasakan sensasinya. Makananpun dibagikan, nasi, sayur, lauk, peyek, semua dibagi rata kepada orang-orang yang datang ke makam itu. Semua senang, semua kenyang.
suasana pembagian makanan

rame kan?!

Sesampainya di rumah, saya bertanya pada bapak, sebenarnya apa sih tujuan membagikan makanan di makam Kenteng. Menurut bapak, hal itu memang sudah tradisi turun-temurun di daerah saya. Hal ini biasanya terkait dengan hajat atau nadzar tertentu dari warga desa kami. Misalnya ada orang yang sakit, lalu bernadzar, jika sembuh nanti akan membuat sego Kenteng. Maka ketika dia sembuh, dia wajib memenuhi nadzarnya tersebut. Sedangkan makam Kenteng itu konon adalah makam leluhur desa kami. Sebenarnya saya gak terlalu percaya hal-hal yang begituan. Tapi bagaimanapun juga kita tetap harus menghormati tradisi kan. Itung-itung berbagi rezeki pada tetangga sekitar juga sih.

Mari makaaannn... :9
nasi bagian saya... :)

Lokasi: Makam Kiai Santri Ds. Piji Kec. Bagelen Kab. Purworejo - Jawa Tengah

2 komentar:

kurniawan subiyantoro mengatakan...

matursuwun telah berbagi cerita

Desti mengatakan...

matur nuwun sudah mau membaca ceritanya. Salam kenal.