Namanya Kromo Busuk. Disebut busuk karena baunya. Entah karena luka di kakinya atau keringatnya,
wallahualam. Menurut ilmu hakekat, yang layak disebut busuk itu hanya hati,
tetapi maklumlah orang desa. Disebut kromo,
atau suto, atau noyo, itu sama saja, karena begitulah orang Jawa diberi nama
oleh orang sekitar. Kabarnya, ia pernah kawin dan punya anak di desa lain.
Pada mulanya, ia tinggal di tengah desa seperti orang-orang
pada umumnya. Ia juga mempunyai sepetak sawah. Untuk yang tidak berkeluarga
seperti dia cukuplah. Ia dapat berkebun, memlihara ayam, dan sesekali
menukarkan hasil kebun ke pasar untuk garam dan pakaian. Pendek kata, orang
boleh iri dengannya. Dalam keadaan ekonomi yang bagaimanapun ia ajan bisa
bertahan, sebab ia tidak bergantung pada kebaikan hati pasar.
Tetapi rupanya ketenangan itu terganggu sejak tetangganya
punya menantu orang luar desa. Menantu inilah yang mula-mula menyebabkan orang
menuduh Kromo berbau busuk. Itu dimulai pada malam pertamanya.
“kau belum mandi sejak pagi,” katanya pada istri. Itu sungguh di luar dugaan. Biasanya ia diam saja meskipun (calon) istri itu tidak mandi barang tiga hari. Ketika istrinya bersumpah bahwa sudah mandi, malah dikatakannya bahwa untuk menghadapi hari itu sengaja dipilihnya sabun yang paling wangi, menantu itupun mencari-cari sumber bau itu. Mula-mula mertuanya laki-laki, laki-laki itu tersinggung, katanya lebih baik tidak punya menantu. Terpaksa orang banyak menyabarkannya. Untuk sebentar menantu itu mengalah dan kamar pengantin itu tenang kembali. Tetapi kamar itu ribut ketika menantu minta istrinya untuk menanyakan apakah ibu mertua hari itu tidak lupa mandi. Tentu saja permintaan itu ditolak. Hanya ketika menantu itu mengancam akan menanyakan langsung, istri itu mengalah. Istri itu bisa membayangkan betapa ibunya akan marah, pengalaman dengan ayahnya yang disangkanya akan tersenyum dengan tuduhan itu sudah membuatnya berhati-hati. Ia tidak langsung menanyakan pada ibunya. Dengan berputar-putar, akhirnya ia tahu bahwa ibunya sudah mandi.
“Ini sudah keterlaluan,” kata Ayah.
Ketika kemarahan akan ditujukan pada menantu karena tuduhan
yang tidak-tidak, tiba-tiba datang orang-orang dari pos kamling. Mereka juga
menanyakan asal bau busuk itu. Malam itu juga diadakan penggeledahan. Usaha itu
ternyata tidak mudah, terbukti mereka tidak berhasil.
Begitulah berkat orang-orang dari gardu, seperti kena tenung tiba-tiba seluruh penduduk desa jadi sadar akan bau itu. Anak-anak di seekolah, di surau, di sungai saling menuduh temannya. Bahkan mereka yang di ladang atau di sawah dapat menciumnya. Pendek kata, sedang bersama atau sendiri. Akhirnya diadakan penelitian dari rumah ke rumah.
Pada waktu itulah ketahuan bahwa sumber bau busuk itu ialah
Pak Kromo. Sudah barang tentu hal itu tidak diakui Pak Kromo sendiri. Katanya
ia sudah mandi, suruh pakai sabun sudah, suruh minum jamu sudah, padahal ia
tidak luka sedikit pun.
Diam-diam Kromo membangun gubuk baru di pinggir desa dan
pindah ke sana. Akan tetapi, ternyata hal itu tidak memecahkan masalah. Bau
busuk tidak juga hilang dari hidung orang desa. Pada malam hari, orang masih
mengeluh. Ketika Kromo pergi ke warung, warung itu akan ditinggalkan pembeli.
Demikian pula kalau ia pergi nonton wayang, orang akan bubar dan tinggal
dalang, pesinden, dan niyaga yang melanjutkan dengan menutup hidung sekenanya.
Para gadis desa tidak laku, karena jejaka-jejaka takut dengan bau yang akan
menghalangi. Malam bulan purnama juga
sepi. Desa itu jadi sarang hantu. Pencuri berkeliaran dengan leluasa di malam
hari, karena gardu ronda tidak dijaga lagi.
Kromo menyadari hal itu. Malam hari dia akan keluar desa
untuk tidur di tengah sawah yang berbatu-batu, dan tidak dikerjakan, karena
orang percaya itu tempat angker. Kromo sudah bertekad karena mati pun tidak ada
yang kehilangan. Orang sudah berusaha mencegahnya dengan mengatakan bahwa
tempat tinggalnya yang di pinggiran desa itu sudah lebih dari cukup. Tetapi ia
sudah bulat. Menjelang malam orang akan melihat dia mengempit selembar tikar
usang menuju batu di tengah sawah untuk tidur. Baru pagi-pagi ia pulang.
Praktis ia tidak bisa bekerja, sebab orang akan bubar untuk menjauhinya.
Suatu malam seorang wanita cantik tiba-tiba sudah ada di
dekatnya. Ia tidak tahu dari mana perempuan itu datang.
“Jangan takut, kaki. Saya ingin tahu kenapa setiap malam kau
di sini.”
Entah apa sebabnya, tetapi rasa takutnya hilang. Maka ia [un
bercerita tentang kesulitannya dengan orang. Ketika dia mengakhiri ceritanya, perempuan
itu berkata,
“Sudah kaki. Kalau bangsa manusia tidak mau mengerti, jangan
susah.”
Malam berikutnya ia dikawinkan di depan peghulu Naib
Kecamatan yang sudah dikenalnya. Dihadirkan juga saksi-saksi. Perempuan yang
dikawininya rasa-rasanya ia pernah ketemu sebelumnya, tetapi ia lupa di mana.
Ia enggan bertanya, pokoknya wanita itu cantik di luar bayangan orang yang
paling gila sekalipun. Dan malam itu dia memberikan kenikmatan yang luar biasa
– yang tidak mungkin diceritakan demi sopan santun.
Malam berikutnya, beberapa orang yang kurang pekerjaan mencoba mengikutinya. Tetapi mereka akan kehilangan jejak ketika Kromo sudah memasuki sawah berbatu-batu dan tak ditanami itu. Masih disaksikan oleh mereka angin bertiup sepoi-sepoi dan pucuk padi tertunduk teratue, seperti angin sedang berjalan di atasnya. Katak-katak berbunyi serempak, juga kunang-kunang menuju tengah sawah. Udara menjadi dingin bukan main dan rasa kantuk yang tak tertahankan menyerang orang-orang dari gardu. Satu per satu mereka menguap dan tertidur di sembarang tempat. Kalau hari hujan dikabarkan bahwa tempat itu tidak kehujanan.
Begitulah yang terjadi untuk beberapa lama. Kalau Kromo kesiangan, orang akan menemukannya sedang mendekap sebuah batu. Yang mengherankan ialah rambut Kromo yang tidak putih, meskipun orang sebayanya sudah. Adapun baunya tidak juga hilang, malah lebih keras. Kalau dulu hanya di malam hari, sekarang juga tercium di siang hari. Sampai-sampai anak sekolah disuruh menimbuni sampah dan membersihkan semak-semak di sekitar sekolah.
Pak Kromo hampir dilupakan orang, kalau tidak seseorang
melihat orang itu tiba-tiba sudah tua renta. Komentar orang bermacam-macam.
“Itu biasa karena sebayanya malah sudah mati.” “Itu biasa karena bininya masih
muda dan ia harus mengimbangi.” “Itu biasa, salahnya kawin dengan peri. Aku
punya pengalaman daya sedot peri sungguh luar biasa, hingga tubuh bisa kering
kerontang kalau terlalu sering ketemu. Apalagi tiap malam.”
Pada suatu malam, ada dua orang berpakaian seperti ketoprak
datang di gardu ronda. Seorang dengan pakaian kesatria lengkap dengan kudanya,
seorang lagi berpakaian lebih buruk tapi juga menunggang kuda. Tampaknya mereka
pangeran dan pembantunya. Mereka menanyakan kenapa orang-orang desa menghina
Pak Kromo, padahal dia orang baik-baik. Ia tak pernah menyakiti orang, selalu
berkata lembut, menundukkan muka, suka menolong, tidak sombong, dermawan dalam
kemiskinannya, suka memberi dalam kefakirannya. Pendek kata, ia termasuk
orang-orang terbaik di desa. Tentu saja itu tidak butuh jawaban. Tidak
seorangpun tahu ke mana para penunggang kuda itu pergi. Segera orang berkumpul.
Perkara berkumpul tidak ada yang menandingi orang desa. Kemudian terdengar
ledakan keras dari tengah sawah, sementara bau wangu tercium di mana-mana.
Mereka segera pergi ke sawah. Masih mereka saksikan asap membumbung ke atas.
Tahulah mereka bahwa Pak Kromo sudah meninggal dunia. Mereka hanya menemukan
batu-batu, rumput, dan tikar. Mereka mengambil kesimpulan bahwa jenazah Pak
Kromo dibawa ke dunia lelembut. Tiba-tiba orang merasa kehilangan. Sebagian
orang merasa berdosa telah menyengsarakan Pak Kromo.
Sejak itu, terjadilah pageblug,
epidemi, di desa. Tidak bayi, tidak remaja, tidak orang tua semua terkena. Pagi
sakit sore mati, sore sakit pagi meninggal, siang masih mencangkul di sawah
malam hari sakit, ibu-ibu kehabisan air susu. Orang sudah berusaha dengan
membawa obor keliling desa, perempuan-perempuan telanjang mengelilingi rumah
dan menyanyikan Dandanggula, “Ana kidung rumeksa ing wengi.” Tapi keadaan tidak
menjadi baik, malah sebaliknya yang terjadi. habislah akal orang.
Akhirnya, datanglah kiai itu. Ia mengatakan kalau orang desa
kurang bersyukur dan menganjurkan sedekah. Kemudian disepakati bahwa orang desa
akan mengadakan kenduri dan mengaji sebagai layaknya orang menghormati yang
sudah meninggal. Namun, yang sudah mati
tidak akan kembali lagi. Entah bagaimana nasibnya. Ada yang mengatakan dia jadi
pengawal di sananya, ada yang mengatakan dia jadi pangeran disana, ada yang
mengatakan dia jadi tukang rumput, dan ada pula yang mengatakan dia jadi rakyat
biasa. Yang penting pakaiannya bagus-bagus dan dia jauh lebih muda. Ada yang
pernah berjumpa, dan mengajaknya pulang. Betul dia menangis karena dunia ialah
tempat yang sebaik-baiknya, meskipun penuh penderitaan, tetapi ia terikat
perjanjian.
Demikianlah cerita itu. Ibaratnya, jangan disia-siakan orang
lemah, dia akan bekerja sama meski dengan siluman sekalipun.
Yogyakarta, 14 April 1994
3 komentar:
ada latar, alur dan penokohannya ga yaa? trims.
ada alur, latar,dan penokohan cerpen ga ya?
Tolong dibikin dialog dong
Posting Komentar