Minggu
lalu ketika saya sedang dipusingkan oleh tugas kuliah yang menumpuk dan paper
UTS yang menggila, iseng-iseng saya menyetel radio di handphone dan memilih
channel favorit saya, 101.7 Swaragama FM. Dan kok yo paaasss banget tema
caranya #RabuGalau. Si penyiar mengangkat topik tentang Kekuatan Memaafkan.
Aduh... ini topik makjleb banget buat saya. Seperti menjawab kegelisahan saya
beberapa waktu belakangan ini.
Jujur
saja, saya bukan tipe orang yang mudah memaafkan. Apalagi jika yang menyakiti
saya adalah orang-orang terdekat yang selama ini begitu saya percaya. Sekalipun
hanya masalah sepele, tapi saya bisa marah dan mendiamkan orang itu selama
berbulan-bulan. Sampai akhirnya saya lelah dengan rasa marah saya sendiri. Misalnya
waktu saya merasa dikhianati oleh salah satu teman dekat saya ketika mengurus
kelompok KKN tahun 2010 lalu. Kami yang sama-sama memperjuangkan kelompok itu
dari awal agar bisa berangkat ke Flores, NTT, pada akhirnya teman saya malah
memilih untuk menerima tawaran bergabung dengan kelompok lain yang berangkat ke
daerah yang sama. Sementara saya? Akhirnya hanya memasrahkan nasib penempatan
KKN oleh LPPM. Sejak saat itu, selama setahun lebih saya marah, merasa
dikhianati, dan mendiamkan teman saya itu. Yaa kami memang beda jurusan dan gak
terlalu sering berinteraksi. Tapi setiap ada kesempatan gak sengaja bertemu
dengannya di perpustakaan, di kantin kampus, atau di kost teman, saya bisa
benar-benar menganggapnya tidak ada. Kalau ingat masa-masa itu saya merasa
kejaaamm banget. Tuhan aja bisa memaafkan, masa
saya yang hanya manusia biasa gak mau memaafkan. Tapi yaa namanya juga
lagi marah dan sakit hati. Jadi saya merasa sah-sah saja. Begitu juga yang terjadi
ketika saya ada masalah dengan salah satu sahabat saya. Berbulan-bulan saya
mendiamkannya sampai dia bingung harus bagaimana dan saya lelah dengan amarah
saya.
Nah...
kebetulan beberapa waktu belakangan ini saya juga sedang merasa disakiti oleh
seseorang. Sebut saja dia, mantan #eh. Emang sih udah mantan, dan kami juga
sudah sama-sama memiliki pasangan. Tapi kok rasanya ada yang mengganjal ya. Saya
merasa ada sesuatu yang belum terselesaikan antara saya dan dia. Tapi saya juga
gak mungkin menghubungi dia karena menjaga komitmen dengan pasangan saya yang
sekarang. Tapi memaafkan dia begitu saja kayaknya belum ikhlas. Susaaahhh
banget rasanya. Padahal nih ya, yang saya dengar dari radio, memaafkan itu bisa
dimulai dengan langkah-langkah:
- Ubah mindset bahwa memaafkan itu menguntungkan orang lain. Lakukanlah untuk diri sendiri.
- Yakinkan diri sendiri bahwa memaafkan akan meninggikan derajat kita
- Posisikan diri kita menjadi orang lain. Bagaimana seandainya kita berada di posisi orang yang melakukan kesalahan? Dengan begitu kita akan lebih bisa memahami.
- Jika memungkinkan, ungkapkan isi hati yang mengganjal
- Lupakan siapa yang salah dan siapa yang benar
- Berdamailah dengan perasaan kita sendiri, dengan sisi egois kita, dan dengan masa lalu
Juedeeerrr... point yang ke-6 itu mak jleb sekali yaaahh... Saya merasa ditampar. Berdamai dengan perasaan sendiri, berdamai dengan sisi egois kita, dan berdamai dengan masa lalu, sepertinya memang itu kuncinya. Terkadang, ada hal-hal yang memang semestinya dibiarkan menggantung, mengambang, tak terselesaikan. Biarkan waktu yang menyembuhkan semuanya.
Hai seseorang di masa lalu, aku memaafkanmu, maafkan juga semua salah dan khilafku. Selamat berbahagia dengan pendampingmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar