Sabtu, 21 April 2012

Mengenangmu dalam Sepotong Burger

Tulisan ini saya buat sekitar dua tahun yang lalu, dan selama ini hanya tersimpan rapi di salah satu folder di laptop saya. Maka, ketika tiba-tiba laptop saya dicuri orang, yang saya tangisi bukan hanya Skripsi saya yang sudah selesai 85%, tapi juga tulisan-tulisan lain yang sering saya buat ketika ada inspirasi yang tiba-tiba datang. Beruntungnya, barusan saya ingat bahwa saya pernah mengirimkan tulisan saya pada Si Dia melalui email. Yaa... hanya sekedar share aja. Daripada tulisan saya ga ada yang baca, lagipula lumayan lah ngasih "kerjaan" buat si Dia di waktu senggangnya. Hehehe... Monggoooo....
 *******
            Suatu sore, saya berbelanja keperluan sehari-hari di sebuah toko swalayan dekat kos. Saking asiknya berbelanja, saya sampai tidak menyadari bahwa di luar hujan turun dengan derasnya. Sialnya, saya tidak membawa payung. Abisnya, pas berangkat cuacanya cerah n panas pula. Ternyata tiba-tiba hujan, ya terpaksa pulangnya ditunda dulu deh. Setelah membayar di kasir, saya tertarik pada sebuah outlet makanan cepat saji yang ada di depan toko swalayan itu.  Hmmm…kebetulan saya agak lapar dan hitung-hitung sambil menunggu hujan reda. Akhirnya saya memesan satu cheese burger. Lima menit kemudian, pesanan saya selesai, dan tampaknya hujan mulai reda, tinggal gerimis kecil saja. Saya memutuskan untuk pulang saja. Takutnya nanti hujan akan deras lagi.
            Sesampainya di kos, saya segera membereskan barang-barang belanjaan. Tak lama kemudian, hujan deras lagi. Alhamdulillah saya sudah sampai di kos dengan selamat, ya walaupun baju saya agak lembab. Setelah itu, saya teringat pada burger yang tadi saya beli. Hmmm…nikmatnya makan burger yang masih hangat saat dingin dan hujan seperti ini. Apalagi saya sedang lapar. Hmmm…burger ini “benar-benar menyelamatkan rasa kelaparan saya”, sesuai dengan motto yang diusungnya. Ketika menggigit burger itu, saya seperti terlempar ke masa belasan tahun yang lalu, sekitar tahun 1994-an. Ketika itu saya berumur kira-kira empat tahun.
           
 Ketika itu, saya dan keluarga tinggal di Tridaya I, Tambun, Bekasi. Adik saya belum lahir, jadi saya sangat puas dimanja oleh kedua orang tua dan saudara-saudara. Setiap akhir pekan, saya berkunjung kerumah simbah (orang tua ibu) di daerah Cakung, Jakarta Timur. Kebetulan, rumah simbah dekat dengan rumah budhe saya (kakaknya bapak). Jadi kalo kami kesana bisa kerumah simbah atau kerumah budhe.
            Rumah simbah dan rumah budhe, disana banyak kenangan masa kanak-kanak saya. Seperti ketika ibu dan bapak tidak punya pembantu, sementara beliau berdua tetap harus bekerja, akhirnya saya dititipkan di rumah budhe. Berhubung mbak2 dan mas2 sepupu saya kadang agak menjengkelkan dan mereka sering ‘mengusir’ saya dari rumah mereka, akhirnya saya sering ‘kabur’ kerumah simbah saya yang notabene berada di seberang rumah budhe saya. Simbah selalu memanjakan saya, ya cucu-cucunya yang lain juga. Simbah tidak pernah membeda-bedakan antara cucu yang satu dengan yang lain. Satu lagi yang saya suka dari simbah, beliau ga pelit dalam urusan uang. Beliau selalu menaruh uang di laci meja jahitnya (simbah saya, meskipun lelaki adalah seorang penjahit). Jadi setiap ada cucunya yang minta jajan, kami disuruh langsung mengambil uang di laci meja jahit itu. Jika suatu hari kami tidak menemukan uang di dalam laci, itu artinya simbah sedang tidak punya uang.
            Tiap hari banyak tukang jajan keliling lewat di depan rumah simbah. Ada tukang mainan keliling, tukang es krim, es cendol, hah banyaklah pokoknya. Kadang simbah melarang saya membeli mainan. Padahal saya sangat suka membeli balon tiup. Itu lho, balon yang kita tiup pake sedotan kecil berwarna kuning. Saya paling suka meniup balon itu, lalu mengisinya dengan air, kemudian menggantungnya di pohon belimbing di depan rumah simbah. Sekarang saya baru menyadari kenapa simbah sering melarang saya membeli balon tiup. Pertama, aroma balon tiup itu ternyata ga enak (kenapa juga baru nyadar sekarang!), bisa bikin sesak nafas juga lho. Kedua, kalo beli balon tiup itu ga bikin kenyang. Jadi ga bermanfaat bagi tubuh. Ketiga, kalo saya membeli balon tiup, setelah ditiup, saya selalu mengisinya dengan air. Nah otomatis, saya jadi mainan air. Selain air yang mahal, bisa bikin becek teras rumah simbah, juga ada kemungkinan saya jadi masuk angin gara-gara mainan air. Hmmm… sekarang saya baru menyadari kenapa dulu simbah sering melarang saya membeli balon tiup. Sayangnya, saya baru menyadarinya sekarang. Jadi dulu kalo misalnya simbah melarang, ya saya seperti anak kecil pada umumnya, akan menangis tersedu-sedu… hiks!
           
Ada satu jajanan yang tak pernah dilarang simbah jika saya minta dibelikan. Burger! Yup, dua buah roti yang dipanggang dengan margarin, diselipi beberapa potong timun, tomat dan selada, ditambah potongan daging yang juga sudah digoreng dengan margarin, diolesi mayonnaise dan saos sambal serta saos tomat. Hap, burger! Entah kenapa simbah selalu terlihat senang jika ada tukang burger lewat dan saya minta dibelikan. Meskipun pada waktu itu burger termasuk jajanan yang mahal, tapi simbah tidak pernah keberatan jika saya minta dibelikan.  Sejak saat itu, dimata simbah, saya identik dengan burger (atau mungkin karena itu, sekarang badan saya bulat seperti burger? Haha!). Begitupun sebaliknya, dimata saya, simbah identik dengan burger. Dimanapun saya melihat, membeli atau menyantap burger, saya teringat simbah dan kenangan masa kecil saya. Ah, atau dulu simbah juga selalu teringat saya setiap melihat tukang burger lewat di depan rumah? Hmmm… simbah…
            Terakhir saya makan burger di depan simbah, sekitar bulan Oktober tahun 2003. Waktu itu, saya sekeluarga sudah pindah ke Purworejo, kerumah simbah dari bapak. Waktu itu kami dikabari kalo simbah sakit tipes dan dirawat di rumah sakit. Kebetulan waktu itu saya dan adik sedang libur sekolah menyambut bulan Ramadhan. Akhirnya saya, ibu dan adik pergi ke Jakarta hari jumat sore dan berencana pulang hari minggu sore. Sesampainya di Jakarta, kami terkejut melihat kondisi simbah. Saya seperti tidak mengenali beliau. Sosok yang terbaring di ranjang Rumah Sakit Islam Pondok Kopi itu bukan simbah saya. Bukan! Kami menangis! Ah… bahkan tumpahan air mata ini rasanya tak mampu melenyapkan rasa kaget kami. Simbah saya yang dulu tegap dan gagah, kini terbaring lemah. Matanya tertutup, tapi beliau mengetahui kedatangan kami. Sesaat kami merasa sepertinya kami tak lagi punya banyak waktu bersama simbah. Ah, tapi bukankah kami harus tetap optimis. Kami memasrahkan semua pada dokter. Kami semua hanya bisa berdoa, memasrahkan semua yang terbaik bagi simbah.  Malam itu, ibu beserta pakde dan budhe menginap di rumah sakit, sedangkan saya dan adik tidur di rumah simbah bersama bulik. Meskipun begitu, rasanya tidak ada malam yang lebih panjang dari malam itu.     
            Siang harinya saya dan adik di bawa untuk menginap di rumah budhe saya di daerah Depok. Kami menginap disana karena ibu sibuk mengurusi simbah yang sudah mulai kritis. Sebelumnya, saya sempat makan siang di rumah sakit. Saya memesan burger kesukaan saya. Saya memakan burger itu sambil menangis. Saya justru teringat masa kecil saya, tentang simbah yang selalu membelikan saya burger. Itulah kali terakhir saya makan burger dihadapan simbah karena sorenya sekitar jam tiga sore, simbah meninggalkan kami untuk selamanya.
            Hah… sudah tujuh tahun berlalu sejak kepergian simbah. Namun cinta dan kasih sayang beliau terhadap kami, para cucunya masih tetap membekas sampai kapanpun. Dan setiap saya melihat, membeli dan menyantap burger, saya teringat simbah. Beliau orang  yang tegas, kuat dan ah…rasanya beliau terlalu sempurna untuk saya ceritakan.

Tidak ada komentar: